~ It's simple. Just say what you want (Don't say what you don't want)... ~

Sunday, September 5, 2010

Antara Reinkarnasi dan Islam


Dikutip dari buku Islam and Reincarnation karya Nader Baig Mirza (Penulis Muslim Pakistan).
Dalam buku The Spirit of Islam, Sir Seyyed Amir Ali melacak kata Islam yang berasal dari kata ‘Salaam’ (Salama). Menurutnya, makna asli salama adalah: menjadi hening, berada dalam ketenteraman, telah menunaikan kewajiban, lunas membayar utang, berada dalam kedamaian yang sempurna. Dalam arti yang kedua, kata salama bermakna: menyerahkan diri kepada Allah SWT. Kata ‘Islam’ yang diturunkan dari kata itu bermakna: kedamaian, salam, keselamatan, keamanan. Sementara itu, Islam sebagai ajaran etika dan filsafat bermakna: sebuah jalan untuk mencapai keselamatan, kedamaian atau rasa aman. Dengan demikian, seorang Muslim berarti orang yang akan membayar lunas utangnya, melaksanakan kewajibannya, berada pada kedamaian sempurna, ketenteraman dan keheningan.

Dengan mencermati akar makna dari kata Islam, kita mengetahui bahwa kedamaian, keselamatan, dan keamanan baru bisa dicapai dengan melaksanakan kewajiban dan membayar utang yang kita tanggung. Dengan pemahaman ini, seorang mahasiswa perbandingan agama pasti akan menemukan kemiripan yang kuat antara prinsip yang berasal dari makna Islam dengan prinsip moksha atau pembebasan dalam ajaran Hindu. Pembebasan dari rantai kelahiran dan kematian (samsara) adalah tujuan para pemeluk Hindu. Pembebasan ini tidak bisa dicapai jika manusia belum membayar semua utang karmanya, sampai dia mampu melampaui hukum karma, sampai kewajiban dan bebannya di dunia telah berakhir. Setelah mencapai pembebasan, dia bebas menikmati kebahagiaan tak terkatakan yang dicecapnya dalam surga. Atau, dia bisa kembali lagi ke dunia untuk membantu manusia mencapai puncak kesadaran seperti dirinya. Untuk bisa melunasi utang karma, seseorang perlu memakai tubuh berkali-kali. Itu berarti butuh adanya reinkarnasi, kelahiran kembali setelah kematian.

Bertolak dari prinsip moksha, agak aneh jika Rasulullah memilih nama Islam. Karena Islam memiliki makna yang terkait dengan pembayaran utang. Menilik dari makna Islam, pada awalnya, terbetik dalam benak kita, seolah-olah terdapat ajaran tertentu dalam Islam yang berkaitan erat dengan ajaran kitab Veda tentang hukum karma dan reinkarnasi.

Maulana Muhammad Ali, seorang pakar tradisi Islam, berkomentar atas pernyataan al-Quran dalam tiga ayat. Menurut Maulana, ‘Siapa yang telah ditakdirkan mati tidak akan dikembalikan lagi ke dunia’. Benarkah demikian? Untuk itu, lebih adil kiranya bagi kita untuk menghayati kembali tiga ayat yang membuat Maulana berkesimpulan seperti itu .

Sungguh tidak mungkin (terhalang) atas sebuah negeri yang telah kami hancurkan. Bahwa mereka tidak akan kembali (21:95).

Dengan segala hormat, saya tidak bisa menyetujui tafsiran Maulana atas ayat ini. Dalam pandangan saya, ayat ini tidak berhubungan dengan reinkarnasi. Catatan dalam footnote atas ayat ini menunjukkan kalau dia telah menyalahpahaminya, atau belum mengkaji doktrin reinkarnasi dengan seksama. Jadi, beliau belum begitu memiliki otoritas untuk berbicara tentang reinkarnasi.

Harus dipahami, kata ‘negeri’ merujuk pada penduduk sebuah negeri. Dengan demikian, ayat itu bisa juga dimaknai: ‘Penduduk suatu negeri yang Kami hancurkan tidak akan kembali.’ Kemudian, kata ‘menghancurkan’ berhubungan dengan penduduk, bukan pada negeri itu sendiri. Maulana pasti menghubungkan kata ‘menghancurkan’ dengan kata ’negeri’ untuk sampai pada kesimpulan bahwa orang-orang yang telah mati tidak akan hidup kembali. Tafsiran semacam itu hanya bisa dimungkinkan jika kata ’menghancurkan’ sama artinya dengan ‘kematian’. Sedangkan antara kematian dan penghancuran adalah dua hal yang berbeda.

Kata ‘yang telah mati’ berarti ‘kehilangan unsur utama hidup’. Sementara ‘kematian’ adalah ‘keadaan makhluk, binatang, atau tumbuhan yang terhenti fungsi unsur utama hidup dalam tubuhnya’. Kematian sama sekali bukan merupakan akhir dari inti kehidupan—jiwa—tapi hanya kehilangan unsur utama hidup. Atau dengan kata lain, tubuh yang merupakan unsur utama hidup telah berhenti berfungsi. Islam sendiri mengatakan bahwa jiwa tak bisa mati karena ia abadi.

Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Sesungguhnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak mengetahuinya (2:154).

Sebagai perbandingan, kamus bahasa Inggris menganggap ‘death’ (kematian) bersinonim dengan kata ‘departure’ (keberangkatan). Pemaknaan semacam itu sangat beralasan karena keberangkatan jiwa mengharuskan adanya kematian tubuh. Lalu kata ‘menghancurkan’ semestinya diartikan sebagai ‘menghentikan’. Secara alamiah, jiwa yang telah dihancurkan atau dihentikan, jiwa yang fungsi tubuhnya telah terhenti, tidak bisa kembali berfungsi dalam tubuh baru. Karena ‘kematian’ bukanlah ‘penghancuran’ maka ayat ini tidak bisa digunakan sebagai argumen untuk menentang reinkarnasi.

Memang ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ketika sebuah jiwa ‘dihentikan’, ia tidak bereinkarnasi. Tapi, peristiwa itu jarang sekali terjadi. Cerita tentang kehancuran Atlantis adalah contoh yang bagus dan bisa dikaji untuk membahas masalah ini.

Untuk memperkuat pendapatnya, Maulana mengutip salah satu bagian percakapan Nabi Muhammad. Dalam percakapan itu, Nabi Muhammad menceritakan seorang Abdullah (hamba Allah) yang tengah memohon pada Allah agar dikembalikan ke dunia setelah kematiannya. Lalu Allah pun menjawab: ‘Titah telah keluar dari-Ku, bahwa mereka tidak akan kembali.’ Pertanyaan itu diajukan oleh seorang individu saja. Sementara jawaban Allah menggunakan bentuk jamak, plural—bahwa mereka tidak akan kembali. Ini berarti, selain Abdullah, masih banyak lagi orang lain yang tercakup dalam jawaban itu. Meski begitu, bayangkan jika jawaban ‘mereka tidak akan kembali’ adalah jawaban langsung pada Abdullah yang kira-kira berarti dia tidak akan kembali. Apakah itu cukup logis? Pengamatan seksama pada percakapan itu menunjukkan bahwa reinkarnasi sesungguhnya dikenal dan disinggung oleh Nabi Muhammad. Karena jika kembali ke dunia adalah sebuah perkecualian ketimbang sebuah aturan, maka Tuhan tidak perlu berkata ‘mereka tidak akan kembali’.

Marilah kita mengkaji masalah ini lebih dalam lagi. Jika sudah menjadi aturan bahwa tak seorang pun yang pernah mati kembali ke bumi, maka Tuhan tidak akan berfirman bahwa mereka tidak akan kembali. Firman-Nya itu menunjukkan bahwa yang lainnya bisa kembali ke bumi, tetapi, mereka—siapa pun orangnya—tidak akan kembali. Sehingga, permintaan untuk diizinkan kembali memberikan makna adanya sebuah kemungkinan. Kalau toh tidak ada aturan khusus, adanya permohonan menandakan adanya kelonggaran sebagai persetujuan khusus dari Tuhan pada hamba-Nya.

Ketika dikatakan bahwa seorang Ego bereinkarnasi, hal itu tidak berarti dia bisa lahir kapan saja dan entah bagaimana dia melakukannya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, aturan-aturan tertentu yang harus dilampaui sebelum bisa lahir kembali. Tapi, untuk bisa segera diperkenankan lahir kembali setelah kematiannya, sebelum memenuhi beberapa syarat dan aturan, seperti halnya Abdullah, tentunya akan dipertimbangkan sebagai sebuah pengecualian yang membutuhkan izin khusus. Mengenai sarat dan aturan yang harus dipenuhi sebelum lahir kembali, saya merujuk pada beberapa buku yang membahas masalah ini. Tulisan singkat C.W. Leadbeater Talks on the Path of Occultisme, vol I; ‘At the Feet of the Master’ bisa dikutip di sini.

Banyak orang yang telah mengungkapkan keinginannya untuk bisa lahir dengan segera. Mengingat karena terdapat kekhususan cara kelahiran yang lazim terjadi, maka perkenan khusus pun diperlukan. Seseorang melakukan banyak hal untuk sebuah permintaan, atau, permintaaan itu dimohonkan buat dirinya. Kemudian, permohonan itu harus dipasrahkan pada Kuasa Yang Lebih Tinggi (Higher Authority), yang bisa mengabulkan hasratnya jika Dia menganggap hal itu sangat dibutuhkan sekali. Namun siapa yang bisa menolak jika Dia tidak menganggap kelahiran kembali dengan segera sebagai sesuatu yang tidak amat perlu bagi orang yang memintanya.

Saat ini, mungkin kita bisa menyetujui, bahwa sebuah jiwa atau bangsa yang telah dihancurkan, atau diakhiri keberadaannya, tidak kembali lagi ke bumi. Tapi apakah Islam mengakui kembalinya jiwa ke bumi setelah kematiannya adalah sebuah pertanyaan yang masih terbuka untuk dikaji.

Ayat selanjutnya yang dijadikan dasar Maulana Muhammad Ali adalah ayat 23: 99, 100:

Hingga ketika maut mendatangi salah satu dari mereka, dia pun berkata:
Oh Tuhan, kembalikan aku, kembalikan aku….
Agar aku bisa melakukan kebajikan atas apa yang telah kutinggalkan.
Sama sekali tidak. Itu hanyalah semata-mata ucapan yang dia ucapkan; dan di hadapan mereka adalah barzakh (penghalang) sampai hari mereka akan dibangkitkan.

Maulana mengatakan: ‘Ketidakmungkinan orang yang telah mati hidup kembali di dunia adalah sebuah prinsip yang ditegaskan kembali di sini.’ Tak diragukan lagi, kalimat terakhir yang berbunyi, ‘di hadapan mereka adalah barzakh (penghalang)’ membuatnya berkesimpulan demikian. Seperti yang telah saya baca, kalimat dalam ayat itu malah mempunyai makna sebaliknya.

Keinginan untuk bisa kembali ke dunia diucapkan oleh seorang yang baru mati. Kalimat, ‘hingga ketika maut mendatangi salah satu di antara mereka’ tidak bisa mengacu pada peristiwa lain. Dan jawaban, ‘di hadapan mereka adalah barzakh (penghalang) hingga hari mereka akan dibangkitkan’, juga terjadi pada saat yang bersamaan. Maksud dari kalimat itu adalah, memang ada penghalang, barzakh, yang menghalangi mereka untuk kembali. Namun penghalang itu tidak bertahan selamanya. Penghalang, barzakh, akan berakhir ‘sampai’ pada saat mereka dibangkitkan.

Sekarang, kita harus menanyakan, sejauh mana kekuatan (the exact force) yang terkandung dalam kata ‘sampai’. Kata itu menentukan batas waktu (limit) barzakh. Kata itu juga memastikan, akan ada waktunya, ketika penghalang itu sirna dan mereka akan dibangkitkan dan dikembalikan (ke dunia). Jika orang yang telah mati tidak bisa kembali ke dunia, tentunya ayat ini akan berhenti pada kalimat, ‘itu hanyalah semata-mata ucapan yang dia ucapkan’. Tapi, penambahan kalimat ‘di hadapan mereka adalah barzakh (penghalang)’, membuat orang mengimajinasikan implikasi selanjutnya dari kalimat itu. Jika kalimat berikut ini bisa disisipkan untuk membuat maknanya menjadi sempurna, ayat itu akan berbunyi seperti ini: ‘dan di hadapan mereka adalah barzakh (penghalang), hingga hari mereka akan dibangkitkan, ketika mereka akan dikembalikan.’ Jadi, terkandung harapan kembali ke dunia supaya bisa melakukan amal salih pada apa yang telah kita tinggalkan di dunia, meskipun ada sebuah syarat yang harus dipenuhi sebelum sampai pada peristiwa yang membahagiakan itu, pada saat ketika kita dibangkitkan.

Secara alamiah, tentu kita akan bertanya kembali, kapan kita akan dibangkitkan?
Apa kita mengira ‘sampai pada hari kita dibangkitkan’ mengacu pada Hari Pengadilan? Jika demikian, harapan menjadi hampa dan keliru sebagaimana makna yang tersembunyi dalam kata ‘hingga’. Jika barzakh (penghalang) disirnakan pada Hari Pengadilan, lantas bagaimana kita bisa kembali? Tentu tak ada gunanya sebab tak ada sesuatu pun yang bisa kita lakukan selanjutnya. Kita ingin kembali ‘untuk berbuat kebajikan pada apa yang telah kita tinggalkan’. Tetapi ketika kita ingin kembali, dunia fisikal telah berhenti keberadaannya, (karena diandaikan kita menghadapi Hari Pengadilan). Dan kita tak lagi bisa berbuat kebajikan maupun kejahatan di dalamnya. Jika kata ‘hari’ merujuk pada Hari Pengadilan, seharusnya kata ‘sampai’ dalam ayat itu diganti dengan kata yang bisa memenuhi arti keberakhiran.

Lalu, menurut Maulana, kata ‘dibangkitkan’, merujuk pada periode sebelum Hari Pengadilan. Jika Maulana mengkaji lebih dalam tentang ‘tahap antara’ yang menurutnya mengacu pada kata Barzakh dalam catatan kakinya, mungkin ia bisa menemukan penjelasan yang lebih baik ketimbang penjelasan sebelumnya.

Marilah kita sejenak beralih dari pembahasan utama untuk mempertimbangkan secara singkat, ‘proses’ reinkarnasi—jika bisa disebut dengan istilah proses—sebagaimana yang dipaparkan oleh orang-orang yang meyakini keberadaan reinkarnasi. Mereka berpendapat, ketika seorang manusia mati, kesadarannya langsung masuk ke dalam alam astral. Di sana, ia berdiam selama beberapa hari, beberapa bulan, tahun, tetapi seringkali malah beberapa abad, sesuai dengan kehidupannya di dunia. Ia akan melanjutkan perjalanannya dari alam satu ke alam lainnya hingga pada akhirnya dia tersadarkan pada kesadaran Diri yang sejati (walau cuma sebentar). Kemudian jiwa pun mulai turun dan menghimpun materi dari setiap alam, lalu dia akan kembali lahir melalui rahim seorang ibu. Di sinilah hukum karma mengambil perannya. Kelahiran anak manusia ditentukan sesuai dengan perbuatannya di masa lampau. Dia akan dilahirkan di tengah orang-orang yang paling memungkinkan baginya untuk membayar utang karmanya. Jiwa akan lahir kembali melanjutkan perjalanan spiritualnya di sekitar orang-orang dan lingkungan yang sesuai dengan referensi kehidupannya di masa lalu.

Semua kejadian ini terjadi dalam alam antara, alam penantian, yang dalam Islam disebut dengan istilah barzakh. Tidak diragukan lagi, kalimat ‘sampai mereka dibangkitkan’ merujuk pada peristiwa ketika Ego menyadari kesadaran Diri yang sejati. Semua kondisi dan aturan dalam alam ini kemudian akan diselaraskan dengan kesadaran Diri itu. Dinding penghalang, barzakh—keadaan, dan hukum dalam alam itu—pun akan terbuka dan sirna. Sang Ego diperkenankan kembali berusaha berbuat kebajikan pada apa yang telah ditinggalkan melalui kelahiran baru. Hanya dengan begitu kita bisa membenarkan penggunaan kata ‘sampai’.

Kemudian setelah waktu kelahiran sebuah jiwa ditetapkan, nasibnya akan ditempatkan pada keluarga dan lingkungan yang baik jika kehidupan sebelumnya pun baik. Dan jika dalam kehidupan masa lalunya dipenuhi dengan kekejaman, ketidaksadaran, sifat mementingkan diri sendiri, maka kelahirannya kembali bisa menjadi ‘neraka’ di dunia. Ketika Maulana mengatakan: ‘Kehinaan, nasib buruk, adalah akibat tindakan manusia sendiri dan Hukum Illahi hanya menentukan konsekuensi perbuatan buruk yang dilakukan manusia’, sesungguhnya dia hanya menyuarakan pernyataan para filsuf Hindu yang menyatakan, ketika seorang manusia telah siap menerima kelahiran baru, hukum karma Tuhan memilihkan sebuah keluarga dan lingkungan tempat dia lahir. Kelahirannya itu merupakan kalkulasi terbaik untuk menuntaskan ‘konsekuensi kejahatan dan kebaikan tindakannya di masa lalu.

Kesadaran terhadap hukum karma dan reinkarnasi akan memungkinkan kita memahami ayat-ayat al-Quran yang telah dipaparkan di muka.

Setelah mengisyaratkan adanya penghalang yang membuat mereka tidak bisa kembali, al-Quran melanjutkan penegasannya:

Maka, ketika hidup ditiupkan ke dalam wujud (sangkakala ditiupkan), tak akan ada lagi ikatan hubungan antara mereka pada hari itu, mereka tak akan bisa bertanya satu sama lain…. Maka orang yang amalan kebajikannya lebih besar, bagi mereka kehidupan yang memuaskan… Dan bagi orang yang timbangan kebajikannya ringan, maka baginya tempat kembalinya orang-orang yang kehilangan jiwa mereka, tercampakkan di neraka (101: 6-9).

Ayat ketiga yang dijadikan dasar oleh Maulana adalah QS. 39:42:

Allah mengambil jiwa-jiwa pada saat kematian, dan jiwa-jiwa yang belum mati selama tidur mereka; kemudian Dia menahan jiwa-jiwa itu untuk ditentukan kematiannya dan mengirimkan jiwa-jiwa yang lain selama waktu yang telah ditentukan; sesungguhnya di dalam semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau berpikir.

Dari ayat tersebut ia berpendapat: ‘Jiwa juga diambil pada saat tidur, tapi dalam ayat ini, jiwa tertahan dan tidak diperkenankan kembali’.

Ayat ini pun tidak memiliki keterkaitan dengan reinkarnasi. Sementara, membedakan tidur dari kematian hanyalah memperbandingkan dua hal. Jika kita membandingkannya, kita akan tahu, tidur adalah ‘saudara kembar kematian’. Dalam pengertian ini, makna istilah-istilah tersebut akan menjadi jelas. Tidak bisa disangkal, baik ketika seseorang tidur dan setelah seseorang mati, jiwa memasuki alam astral. Alam ini kadang disalahpahami sebagai ‘suatu tempat yang membuat seseorang tak mampu kembali lagi dari sana’. Sementara al-Quran menegaskan, jiwa yang berjalan menuju ‘lembah bayangan kematian’ mampu kembali ke bumi sebagaimana kembalinya jiwa setelah bangun tidur. Tapi, jiwa yang masuk alam astral kadang-kadang tertahan. Dan keadaan itu tidak bisa disebut sebagai kematian, sebab jiwa masih tetap bisa kembali.

Di sinilah letak perbedaan antara tidur dan mati. Dalam tidur, jiwa kembali ke tubuh yang ditinggalkannya. Sementara, saat mati, jiwa tidak bisa langsung kembali dalam tubuh. Tapi, itu bukan berati jiwa yang tertahan karena kematian tidak diperkenankan kembali ke dalam tubuh yang baru. Sekilas, ayat ini sepertinya mengukuhkan pendapat penafsir. Namun, makna yang tersurat tidak bisa dianggap sebagai makna yang sebenarnya. Kalimat penutup ayat ini, ‘sesungguhnya di dalam semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir’ mengisyaratkan adanya makna tersembunyi yang masih harus digali di balik makna yang tersurat.

KESAKSIAN HADIS DAN PARA SUFI TENTANG REINKARNASI

Sebagian besar kutipan Hadis dalam buku ini berasal dari kitab Muajrul Nabuwwar oleh Alamah Mullameen dan Madarazul Nabuwwat oleh Maulana Shah Abdul Haq Dehlavi.

Hadis pertama mengungkapkan: Yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah inti jiwaku (nur-cahaya).

Nur di sini dikenal dalam Islam sebagai nur Muhammad atau hakikat yang nyata (the real essence).

Hadis kedua menambahkan: Sungguh aku telah ditahbiskan Tuhan sebagai yang terakhir dari para nabi ketika Adam masih berupa tak lebih dari tanah.

Dan Hadis ketiga berbunyi: Aku telah menjadi seorang nabi selagi Adam masih melayang-layang di antara jiwa dan materi.

Atau, dalam riwayat lain disebutkan, ‘Ketika Adam masih berada di antara bumi dan air’. Lebih jauh lagi, sebuah Hadis Qudsi menyatakan dengan ungkapan seperti ini: Selama empat puluh hari Aku mengaduk tanah liat yang darinya tubuh Adam dibentuk.

Jabir bin Abdullah Ansari bercerita dalam otobiografinya, pada satu kesempatan dia bertanya pada Nabi Muhammad, apa yang pertama kali diciptakan Tuhan? Dan Nabi pun menjawab: ‘Esensi, atau ruh (nur) nabimu.’

Hadis Qudsi lain yang juga sangat terkenal mengungkapkan: Aku (Tuhan) tidak bisa menciptakan dunia sebelum menciptakan sang Nabi (Muhammad).

Hadis itu mengandung makna, dunia diciptakan dari esensi Tuhan.

Semua Hadis di atas mengandung arti, sebelum penciptaan dilakukan, Tuhan membuat sebuah rencana (maket) penciptaan dunia terlebih dulu. Untuk itu Dia membuat esensi hidup yang akan meliputi dan merembes pada segala sesuatu.

Esensi atau ruh ini (yang dikenal dalam filsafat Islam sebagai nur) dipancarkan Tuhan dan memanifestasikan dirinya dalam Adam setelah masa dua belas ribu hingga tujuh puluh ribu tahun sebagai gelombang hidup pertama untuk mencapai ranah kesadaran manusia.

Kemudian Hadis kembali menyatakan, setelah memasuki anak cucu Adam, esensi hidup itu bermanifestasi atau memancar kembali ke dalam Idris setelah jarak waktu beberapa ribu tahun. Kemudian setelah beberapa waktu, muncul kembali dalam diri Hud, turun lagi ke dalam Ibrahim dan Ismail. Melalui Ibrahim, sekitar dua ribu enam ratus tahun kemudian, akhirnya sampai dalam diri Nabi Muhammad. Sebenarnya Nabi Muhammad sering kali menyatakan bahwa dalam dirinya terkandung jiwa Ibrahim.

Sesuai dengan pendapat para ahli tafsir, esensi hidup atau nur yang muncul dalam diri seorang nabi tertentu bermakna, Nabi mengambil jiwa atau esensi yang telah melewati pendahulunya, lalu dia lahir ke dunia dengan cara yang sama dengan manusia lain. Dalam pernyataan ini tersembunyi sebuah makna, meskipun nabi berjumlah banyak tetapi hakekat ruhnya tetap satu. Oleh sebab itu, dalam masa yang berbeda mereka muncul di dunia untuk membawa dan menyempurnakan rencana Tuhan hingga sampailah pada Nabi Muhammad. Seperti yang dinyatakan Allah pada Muhammad dalam al-Quran: ‘Hari ini Aku sempurnakan agamamu’.

Kata-kata Allah itu hanyalah cara lain untuk mengatakan, Ruh Tuhan telah berinkarnasi berkali-kali ke dunia guna melanjutkan rencana besar-Nya sampai mencapai kesempurnaan. Secara umum, Muhammad diyakini sebagai nabi yang menyempurnakan rencana Tuhan hingga masa kita kali ini.

Sesuai dengan kepercayaan umum dalam Islam, sebelum dunia berakhir, Imam Mahdi akan lahir ke dunia. Kelompok teosofi berkeyakinan, seorang Guru Agung akan selalu muncul tiap permulaan zaman baru dan bukan muncul pada waktu dunia akan kiamat sebagaimana yang banyak diyakini oleh umat Islam. Hadis berikut ini mendukung pandangan teosofi tersebut:

Sesungguhnya Tuhan akan mengutus hamba-hamba-Nya pada permulaan tiap jaman yang akan memperbaharui agamanya.

Ada tujuhpuluh dua hingga tujuhpuluh tiga golongan dalam Islam. Golongan Rafziah adalah golongan yang keenam. Sub-golongan kedelapan dari Muslim Rafziah menerima konsep reinkarnasi dengan tangan terbuka. Karena itu, mereka disebut Munashkhiah, atau orang-orang yang meyakini reinkarnasi. Sub-golongan kelima Rafziah juga meyakini, dunia tidak akan pernah kosong dari seorang Guru pemandu manusia. Dengan begitu, Ruh Tuhan akan selalu bermanifestasi dalam satu pribadi atau pribadi lainnya sepanjang masa. Karena alasan ini, mereka menolak klaim bahwa Muhammad adalah nabi terakhir.

Orang-orang dari kepercayaan Ismaili yang mencakup kelompok Bora dan Khoja juga meyakini prinsip reinkarnasi dan karma. Bahkan, mereka melangkah lebih jauh dengan menyatakan Sri Krishna adalah inkarnasi dari Budha, dan dari jiwa yang sama berinkarnasi pula Nabi Muhammad SAW. Kelompok-kelompok lain meyakini Hazrat Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi, sebagai reinkarnasi Sri Krishna ketika yang lain mempertahankan bahwa Sri Krishna adalah reinkarnasi Vishnu.

Kelompok Bahai di Iran meyakini adanya jiwa agung yang dikenal dunia sebagai Kristus bereinkarnasi dalam diri pemimpin mereka, Abdul Baha. Sementara itu di India, kelompok Qodyani mengakui jiwa agung itu bersemayam dalam diri pemimpin mereka, Mirza Ahmed.
Dalam banyak puisi, para sufi pun menyatakan keyakinan mereka pada hukum reinkarnasi.

Dua orang dari kelompok Ismaili, Hasan Sabah dan Hakim Nasir Khusru Alvi sangat meyakini reinkarnasi. Sementara itu, pujangga tersohor Zamani Yazdi menyatakan, dia adalah Nizami Ganjvi yang lahir dalam tubuh baru, tubuhnya sendiri. ‘Laksana mentari, Aku pernah terbit dalam diri Ganjvi dan muncul kembali dalam diri Yazdi.’

Ketika beberapa pujangga Sufi meyakini bahwa setelah melewati tahap mineral, tumbuhan, dan binatang, gelombang hidup berhenti saat mencapai tingkat manusia, yang lainnya melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan: Bahkan setelah mencapai tahap kemanusiaan, seseorang masih lahir lagi beberapa kali dalam tubuh baru sebelum merengkuh kesadaran yang sempurna.

Penyair sufi, Jalaluddin Rumi, murid Syamsuddin Tabriz, dalam puisinya, menyenandungkan keyakinan akan adanya reinkarnasi yang mengalir dalam hukum evolusi:

Aku mempunyai satu jiwa tetapi memiliki seratus ribu tubuh. Namun aku tak bisa banyak bicara karena syariah memaksa diriku diam seribu bahasa. Aku telah menyaksikan diriku dalam dua ribu wajah manusia, tetapi semua wujud itu tak sebaik diriku saat ini.

Dia juga menyatakan:

Aku tetaplah satu jiwa meski memiliki seratus ribu tubuh. Tetapi jiwa dan ribuan tubuh itu semua adalah Aku.

Dan:

Jika kusaksikan Ruh, kulihat sembilan ratus tujuh puluh tubuh. Tapi jika hanya kusaksikan keadaanku, aku seperti tumbuhan yang terus tumbuh dan tumbuh.

Dalam puisinya, Rumi tampak sangat yakin, pada mulanya Tuhan menciptakan materi yang di dalamnya terkandung benih materi fisik dunia dalam bentuk yang lebih kasar—materi dunia yang kita ketahui saat ini. Dia menandaskan, segala sesuatu yang ada saat ini selalu mempunyai masa lalu dan masa depan. Tak ada sesuatu pun yang berhenti, semuanya bergerak, berkembang dari satu tingkat ke tingkat berikutnya:

Meskipun aku keturunan Adam, sesungguhnya akulah yang menjadi nenek moyangnya. Sehingga… bisa dikatakan ayahku adalah anakku, dan di luar pohon tumbuhlah sebuah benih.

Selanjutnya:

Selama seribu tahun aku mengapung dalam ether, bahkan ketika atom bergerak tanpa kendali. Jika aku tidak sepenuhnya ingat keadaanku saat itu, maka aku sering memimpikan perjalanan atom-atom yang menyusun tubuhku.

Puisi tersebut terlihat mengacu pada evolusi dan reinkarnasi.

Sebagai tahapan yang harus dilalui wujud lahir, tingkatan wujud berikutnya berjalan sesuai dengan rancangan wujud sebelumnya. Dengan cara ini, muncullah ribuan perubahan, dan tiap perubahan selalu lebih baik dari sebelumnya. Sadarilah selalu wujud saat ini karena jika kau berpikir tentang wujudmu di masa lalu, kau akan memisahkan dirimu dari Diri sejatimu. Inilah semua keadaan yang tetap, yang kau saksikan dalam kematian. Lalu, mengapa kau palingkan wajahmu dari kematian? Ketika tahapan kedua lebih baik dari tahapan pertama, maka matilah dengan senyum suka cita, dan pandanglah ke depan untuk menempati wujud baru yang lebih baik dari wujud sebelumnya. Sadarilah, dan jangan tergesa-gesa. Kau harus mati sebelum memperbaiki diri. Bagai sang surya, hanya jika kau tenggelam di Barat, maka di Timur, kau akan menyaksikan wajahmu yang cerlang gemilang.

Prosa liris itu disadap dari karya besar sang pujangga, Masnawi. Ujaran Rumi itu bisa disejajarkan dengan al-Quran, karena alasan yang dikemukakannya didasarkan pada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad.

Sekarang marilah kita menyelami puisi Syamsuddin Tabriz, Murshid pemandu Rumi. Demikianlah nyanyiannya:

Seperti tumbuhan, aku mencecap air yang mengalir dalam mangkuk-mangkuk bumi. Meskipun tumbuhan dan rerumputan tumbuh sekali, namun aku tumbuh berkali-kali. Seperti janin yang belum terlahir, aku mencecap pula sari makanan lewat darah ibuku. Karena meskipun sepertinya manusia hanya lahir sekali, sesungguhnya aku telah lahir berulang kali.

Dalam bait lain dia mengatakan:

Seperti sebuah biji yang ketika ditanam dalam tanah menjadi ribuan biji, melalui kematian, aku pun menjadi seratus ribu pribadi.

Kemudian:

Kau hanya bisa menyaksikan malam tatkala mentari telah tenggelam. Apakah sekali-kali bulan pernah hilang pada saat matahari terbenam? Apa yang kau lihat sebagai tenggelam sesungguhnya terbit bersinar di tempat lain. Sesungguhnya tanah kuburan tempat tubuhmu disemayamkan hanyalah penjara yang sempit. Tapi itulah satu-satunya penjara yang membuatmu merdeka. Biji apakah yang tidak berkembang menjadi ribuan biji saat ia dikuburkan dalam tanah? Apa pula yang membuatmu ragu pada biji kemanusiaan yang akan selalu berkembang di hari menjelang?

Kesaksian akan keberadaan reinkarnasi dalam Islam bisa pula ditemukan pada pujangga sufi lain yang sangat terkenal, Mansoor al-Hallaj. Sufi yang berkata Ana al-Haq, persatuan dengan Tuhan, yang membuatnya harus membayar mahal dengan nyawanya. Tanpa keraguan, dia menyatakan:

Seperti rerumputan, aku tumbuh berkali-kali di tepian sungai yang deras mengalir. Selama ribuan tahun aku hidup, berkarya, dan berusaha dalam beraneka ragam tubuh.

Pada kesempatan lain dia menulis:

Waktu melaju tiada henti-hentinya, seperti setetes air, aku menyatu dengan lautan. Tapi, saksikanlah bagaimana aku menyatu dari situ. Sebagaimana embun, aku melayang-layang di atas samudera keabadian dan muncul sebagai gelombang yang menderu di lautan.

Ahmed Jam, seorang sufi yang dijuluki sebagai ‘the mad elephant’ (gajah gila) di kalangan penyair juga memberikan kesaksian pada prinsip reinkarnasi ketika ia bernyanyi:

Seperti air keringat yang berada dalam tubuh dan kulit, meski telah terpisahkan dari samudera luas, aku tetaplah air yang sama. Pada awalnya aku adalah kayu bakar. Tapi lihatlah titik puncak yang telah kucapai. Saat terbakar dalam kobaran api, kayu bakar itu pun menjadi api itu sendiri. Dan dari api aku berubah menjadi Cahaya (nur). Ya…, tiada lain aku adalah cahaya. Sekarang diriku adalah matahari itu sendiri. Akulah lautan dan aku pula yang menjadi gelombang.

Masih dalam kesaksian adanya evolusi, seorang guru Sufi yang terkenal, Hakim Sanai, pernah menulis:

Dalam ruang iman dan kebijaksanaan, kematian tubuh berarti kehidupan jiwa. Korbankanlah napsu tubuh, hingga kau bisa tinggal dalam kesadaran alam ruh.

Dengan semangat yang sama, Khakani menyatakan:

Setelah bermanifestasi dalam dunia mineral, tumbuhan dan dunia binatang, tujuan puncak kehidupan adalah kesadaran kemanusiaan. Seperti al-Quran yang diturunkan setelah tiga kitab sebelumnya, kemanusiaan juga berkembang dari ketiga dunia itu.

Sebagai tambahan para penyair sufi yang telah disebutkan di muka, para pembaca bisa mempelajari karya-karya Sheikh Bahlool yang menyatakan pernah mengalami penyatuan selama dua tahun dengan Tuhan. Juga karya Sheikh Abdul Hussein Kharkani yang bisa mengingat kejadian-kejadian yang dia alami selama masih menjadi embrio dalam rahim ibu. Para penyair sufi yang disebut di sini hanyalah sebagian kecil dari banyak sufi lain yang memberikan kesaksiannya dalam buku ini. Nama-nama lain bisa ditambahkan untuk mendukung kandungan buku ini. Tapi saya kira buku ini bisa dikatakan cukup untuk meyakinkan para pembaca bahwa agama Islam sesungguhnya tidak asing dengan konsep reinkarnasi.
KARMA

Ajaran reinkarnasi tidak bisa dipisahkan dari doktrin tentang karma. Karma adalah hukum keadilan yang menuntut ‘mata untuk mata’, ‘gigi untuk gigi’. Kata kunci dalam hukum karma adalah, ‘apa pun yang orang tanam, itu pulalah yang akan ia petik.’

Pemahaman tentang penderitaan dan hukuman di dunia sebagai balasan perbuatan buruknya di masa lalu, atau kebahagiaan dan kegembiraan di dunia sebagai ganjaran amalan baiknya di masa lalu, belum begitu dikenal oleh umat Islam. Perbedaan utama antara teori Islam dan Hindu tentang sebab dan akibat adalah: dalam Islam, seseorang akan menerima haknya di akhirat, sementara menurut Hindu, dia harus kembali lagi ke dunia yang sama untuk membayar utang karmanya, dan untuk menikmati hasil perbuatannya dari kehidupannya di masa lalu. Jika saya mati sebagai orang yang banyak berbuat jahat pada orang lain, tentunya tidak ada kepuasan, ganti rugi, atau keadilan bagi orang yang pernah saya sakiti karena setelah mati, saya akan dipanggang di neraka selama sehari, sebulan, atau bahkan satu atau dua abad. Keyakinan seperti ini berawal dari semangat balas dendam yang tak bisa dibenarkan. Sesungguhnya saya akan kembali ke dunia untuk menebus dosa, dan memperbaiki kesalahan yang pernah saya lakukan. Dengan demikian, saya bisa mengganti kerugian orang yang pernah saya sakiti. Dan saya pun bisa memperhitungkan kembali karma baik dan buruk yang saya lakukan.

Hukum keadilan Ilahi dan pemahaman seperti ini dikukuhkan dengan bukti-bukti yang kuat dari al-Quran. Dari ayat-ayat yang telah kita paparkan, beberapa prinsip bisa disarikan dari situ. Sebagai tambahan, ayat berikut ini menunjukkan dengan jelas, bagi seseorang yang akan membayar utang karmanya, ia musti bereinkarnasi atau lahir kembali ke dunia. Selamilah makna ayat ini:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya; ia mendapat keuntungan dari apa yang telah diusahakannya, dan mendapatkan kerugian dari apa yang dikerjakannya pula (2:286).

dan juga:

bencana apa pun yang menimpamu semata-mata berasal dari dirimu sendiri. (4:79).

Dalam dua ayat di atas, kita bisa melihat, apa yang kita alami di dunia saat ini bukan semata-mata takdir yang tak berkompromi dengan kita, tetapi merupakan akibat perbuatan kita sendiri yang tak bisa dihindarkan. Perbuatan itu hanya bisa dilacak dalam kehidupan manusia sebelumnya. Telah tertulis dalam kitab Islam, seseorang lahir ke dunia dengan membawa nasib yang melingkar di lehernya. Sesungguhnya nasib manusia tidak lain adalah setumpuk utang yang harus dituntaskan dengan cara mengangsurnya dalam jumlah besar atau kecil sesuai dengan kemampuannya. Dengan begitu, ia bisa mengurangi penderitaannya tanpa harus menyesali diri. Atau, untuk menikmati buah kebajikannya di masa lalu tanpa harus besar kepala dan jumawa.

Pertimbangkan pula ayat lain yang menegaskan kembali pernyataan tersebut:

Apa pun musibah yang menimpamu, adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri (42: 30).

Jika kita tidak meyakini ‘kehinaan adalah akibat perbuatan manusia sendiri’, tentu kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus meyakini ‘ketidakadilan Allah’ ketika menyesali penderitaan kita di dunia saat ini. Dengan demikian, kita harus pasrah dan berpuas diri pada keadilan Allah, karena al-Quran menyatakan:

Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusialah yang berbuat zalim pada diri mereka sendiri. (10: 44).

Tidak hanya seorang individu saja yang menderita akibat perbuatan jahatnya, tapi, sebuah bangsa atau masyarakat juga ikut menanggung karmanya. Karma buruk masyarakat sebagai keseluruhan pasti berdampak pada bangsanya seperti halnya berdampak pada setiap individu yang bertempat tinggal di sana. Bukti adanya hukum karma yang berdampak pada sebuah bangsa telah dijelaskan dalam sebuah ayat:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, biar Allah membuat mereka merasakan sebagian akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (30: 41).

Perlunya hukum karma dan cara hukum itu bekerja dipaparkan dengan singkat dalam ayat pendek di atas. Akibat perbuatan jahat individu-individu tertentu, maka, akan ikut berdampak buruk pula bagi bangsa secara keseluruhan. Sebagian penderitaan ditanggung oleh tiap individu sesuai dengan penciptaan karma yang dia lakukan di masyarakat. Kesadaran adanya hukum karma akan membawa individu maupun bangsa untuk ‘kembali’ ke jalurnya yang tepat. Kesadaran itu pulalah yang akan membuat kita semua belajar menyadari mana yang benar dan mana yang salah.

Bahkan ketika seseorang telah menyadari yang benar dan yang salah setelah mengalami beberapa kelahiran, dan telah berketetapan hati mengikuti kebenaran dengan segala konsekuensinya, dia masih harus lahir beberapa kali lagi sebelum mencapai taraf evolusi di mana kematian tidak bisa menyentuhnya lagi ketika dia sudah melampaui rantai kelahiran dan kematian. Setelah itu, jika menghendaki, dia bisa lahir kembali untuk membantu memandu sesama manusia mencapai pembebasan, namun, dia sudah terbebas dari hukum apa pun. Dia bisa memilih lingkungan tempat kelahirannya, keadaannya, saat dia akan turun lagi ke dunia.

Yang harus diselesaikan manusia untuk mencapai ‘kesempurnaan’ (Surga yang sangat didambakan dalam Islam) dijelaskan dalam al-Quran surat 90. Ayat ini identik dengan ajaran teosofi, the path of action and service (panduan perbuatan dan pelayanan). Setelah menunjukkan jalan mencapai kesempurnaan, al-Quran tidak berhenti berbicara mengenai tujuan akhir yang harus dicapai manusia. Akhir perjalanan itu bukanlah surga tempat para bidadari menantikan orang-orang beriman untuk bercumbu di sana, bukan surga tempat sungai-sungai mengalir di bawahnya, bukan pula surga tempat buah-buahan lezat jatuh ke mulut-mulut yang diberkati. Namun, akhir perjalanan itu adalah sebuah keadaan setelah manusia melalui semua kesusahan dan kerja keras, setelah semua usaha dan perjuangan berakhir.

Kamu akan bebas dari kewajiban di kota ini. (90: 2).

Istilah ‘kota’, dalam semua filsafat kuno menyimbolkan tubuh fisik. Lima pintu gerbang sebuah kota dimaknai sebagai pancaindra manusia. Bebas dari kewajiban dalam ‘kota dengan lima pintu gerbang’ tidak bisa diartikan lain kecuali moksha, pembebasan dari samsara, lingkaran kelahiran dan kematian.

Evolusi

Hukum reinkarnasi dan karma adalah sebuah cara, jalan yang memiliki tujuan. Dan tujuan itu adalah evolusi, perjalanan yang tak pernah berakhir itu sendiri. ketika mencermati sebuah jalan, kita tidak bisa mengabaikan tujuan. Jika filsafat Islam senada dengan filsafat Hindu tentang karma dan reinkarnasi, apakah teori itu sama dengan teori evolusi?

Tak ada yang bisa berkembang jika tidak ada hukum yang pasti di mana segala sesuatu mengikuti aturannya. Konon Tuhan telah mempersiapkan arketipe segala macam ciptaan. Mengetahui hal itu, para pemimpin malaikat dan anak buahnya pun melaksanakan rencana Ilahi (plan of Logos) itu. Mereka berusaha keras mereproduksi arketipe dari materi kasar yang ditentukan oleh tangan-tangan mereka. Demikianlah, karena peradaban terus berkembang, kita pun menyaksikan tipe-tipe kemanusiaan yang berkembang semakin baik. Kita menyaksikan perkembangan baik dalam kesadaran maupun bentuk. Tidak hanya perkembangan manusia, tapi juga pada setiap bentuk kehidupan yang lain, seperti mineral, tumbuhan, dan binatang. Jika kita menerima pemahaman ini, tentunya mudah bagi kita untuk meyakini bahwa ‘Tuhan punya rencana dan rencana itu adalah evolusi’. Tak ada yang berkembang di luar rencana Tuhan.

Inilah yang menjadi semangat al-Quran ketika Allah menyatakan:

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi ini atau pada jiwamu kecuali telah tertulis dalam kitab , sebelum Kami mengejawantahkannya dalam penciptaan. Sesungguhnya yang demikian itu tidaklah sukar bagi Allah (57:22).

Bahkan kejahatan yang dilakukan manusia, atau ‘kejatuhan’ manusia ke bumi bukanlah sesuatu yang tidak memiliki tujuan.

Sesuai dengan rencana ini,—demikian ajaran teosofi—manusia berkembang dari ‘tanah’. Pada awalnya, ketika Tuhan mulai memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk, pertama-tama, kehidupan Ilahi memberikan jiwa pada bentuk kehidupan mineral, mencakup air, gas, dan materi etherik. Selama ribuan tahun, mineral berkembang dari bentuk yang sederhana sampai pada bentuk yang kompleks. Lalu kehidupan mulai berkembang bentuknya.

Ketika evolusi mineral mencapai tingkat kesempurnaan, kehidupan Ilahi mulai masuk ke dalam bentuk tumbuh-tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan menuju ke bentuk binatang, dari binatang sampai kepada manusia. Dan Kehidupan Ilahi yang sama, terus berkembang hingga pada tingkatannya saat ini. Proses ini terus-menerus berlangsung di dunia. Apa yang menjadi mineral saat ini, akan menjadi tumbuhan di kemudian hari, binatang pada keesokan berikutnya, sampai pada manusia.

Dr. Besant dalam buku Introduction to Yoga menyatakan, ‘Anda adalah pria dan wanita yang teruji. Anda telah menapaki tangga yang begitu panjang yang memisahkan wujud ketuhanan dalam dirimu dengan wujud-Nya dalam tanah liat…. Tuhan yang bermanifestasi masih ‘terlelap’ dalam kehidupan mineral dan bebatuan. Kesadaran Tuhan menjadi lebih berkembang dalam tumbuhan dan binatang sampai pada tahap akhir sebagai manusia. Tuhan telah mencapai apa yang tampak sebagai pencapaian akhir dalam wujudnya sebagai manusia pertama… tapi setelah berproses sedemikian lama dan tak terkira, akankah Anda tidak berproses lebih baik lagi?’

Kiranya, dalam semangat yang sama, pujangga Sufi, Jalaluddin Rumi, juga pernah mengungkapkan pemahaman itu dalam puisinya yang sangat terkenal:

Dulunya aku adalah mineral, lalu berkembang menjadi tumbuhan. Mati dari tumbuhan aku muncul sebagai binatang. Mati dari binatang aku pun menjadi manusia. Lalu mengapa mesti takut kalau kematian akan merendahkanku? Kehidupan berikutnya akan menjadikanku sebagai seorang malaikat. Lalu akan berubah lagi dalam sesuatu yang tak terkatakan. Dan segala sesuatu seakan bersaksi, ‘kepada-Nya kita akan kembali’.

Marilah kita mencermati puisi ini, dan membandingkannya dengan ajaran Islam. Kitab al-Quran dalam satu kesempatan bertanya pada kita:

Apakah kamu kafir pada-Nya yang menciptakanmu dari tanah, lalu dari sebentuk kecil organisme, lalu Dia menjadikan kamu sebentuk manusia yang sempurna? (18:37).

Perhatikan pengulangan kata ‘lalu’ dalam ayat di atas. Secara umum Islam telah menyatakan, ‘manusia diciptakan dari tanah’. Tapi rata-rata umat Islam berkeyakinan, tubuh fisik manusia ditempa dan dibentuk dari tanah lempung. Kalau memang demikian, tentunya ayat ini sangat bertentangan dengan pemahaman tersebut. Penggunaan kata ‘lalu’ menandakan adanya perkembangan proses dalam evolusi dari taraf satu ke taraf berikutnya. Redaksional ayat di atas tidak berbunyi, ‘Kamu dibuat dari tanah liat, yang di dalamnya kemudian dimasukkan sebentuk kecil organisme yang membuatmu menjadi seorang manusia’. Ayat itu mengungkapkan, ‘pertama-tama, energi hidupmu berada dalam tanah, lalu tanah memanifestasikan diri dalam sebentuk kecil organisme yang bisa ditemukan dalam biji tanaman, serangga dan binatang, lalu kamu menjadi manusia’.

Lebih jauh lagi, kalimat-kalimat dalam ayat tersebut diperkuat oleh ayat lain (71:14) yang menyatakan:

Seungguhnya Dia menciptakanmu melalui beberapa tingkatan. (71:14).

Kalimat ‘melalui beberapa tingkatan’ dimaknai para penafsir ‘dalam beberapa langkah’, atau ‘dalam beberapa keadaan’. Maulana Mahomed Ali mengatakan: ‘Kalimat ini bisa dianggap memiliki persinggungan dengan teori evolusi. Secara umum, para penafsir memaknai kalimat itu untuk merujukkannya dengan beberapa keadaan yang dilalui oleh janin yang tengah berkembang. Tapi kalimat itu bisa juga bermakna, manusia telah diantarkan hingga pada tingkatan kesempurnaan fisik melalui beberapa keadaan.’

Jika penafsiran seperti itu diterima, maka kita bisa bertanya sebagaimana Dr. Besant pernah bertanya, ‘Setelah berproses sedemikian lama dan tak terkira, akankah manusia tidak berproses lebih baik lagi? Memang manusia masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, bukan sesuatu yang irrasional jika kita berkeyakinan untuk berkembang lebih baik lagi. Untunglah, al-Quran memberikan kepastian yang memberikan kita harapan bahwa suatu saat kemanusiaan akan merengkuh tujuannya yang sempurna, yang telah dirancang sebelumnya.

Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselimutinya, dan dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu akan melalui keadaan demi keadaan. (84:16-19).

Menurut pendapat Maulana, ayat ini merujuk pada ‘pertumbuhan Islam’. Tapi ketika diterapkan pada kehidupan, tidak bisa tidak ayat ini mengisyaratkan adanya evolusi manusia dari tingkatannya saat ini sampai pada kesempurnaannya.

Teosofi mengajarkan pada kita, pada jenjang yang tertinggi dari tangga manusia adalah sebuah keberadaan yang tak terkatakan, yaitu orang-orang yang telah mencapai puncak kesadaran. Orang-orang yang mencapai puncak kesadaran itulah yang dikenal sebagai para Master yang memiliki kebijaksanaan Ilahi. Para Master itu memandu dan mengarahkan perjalanan kemanusiaan. Merekalah manusia yang telah ‘melampaui semua tingkatan’. Mereka sangat memahami masalah dan kesulitan yang musti dihadapi manusia. Dengan penuh pengertian, rasa simpati, dan pengetahuan, mereka bisa mengulurkan tangan kepada para pencari kebenaran yang mendambakan kesempurnaan.

Dengan tegas al-Quran menyinggung keberadaan para Master itu dalam ayat berikut:

Dan di atas A’raaf (tempat yang tertinggi di antara ‘surga’ dan ‘neraka’) ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. (7:46).

Kita masih akan menemukan ayat lain yang mengukuhkan keberadaan para Master yang memiliki Pengetahuan Ilahi itu. Salah satu tugas mereka adalah menjaga rahasia-rahasia alam semesta—pengetahuan esoteris kehidupan—dan mereka akan menyingkap rahasia itu pada manusia ketika sudah siap menerimanya. Ayat ini sangat penting, atau setidak tidaknya, sejauh yang berhubungan dengan Islam, semestinya bisa mengakhiri perdebatan tentang reinkarnasi.

Kami telah memunculkan para nabi yang berserah diri pada Allah untuk memutuskan perkara-perkara orang Yahudi. Dan para Master yang memiliki Pengetahuan Ilahi dan para Pendeta, karena mereka diperintahkan untuk menjaga sebagian kitab Allah.’ (5:44).

Dalam beberapa tafsiran, ‘Kitab Allah’ dimaknai sebagai Taurat. Tapi, sesungguhnya Allah memiliki Kitab yang lebih besar dari pada kitab Taurat. Kitab itu dijaga oleh para Master yang memiliki Pengetahuan Ilahi. Tidak terlalu berlebihan jika kita meyakini ‘Kitab Allah’ dalam ayat itu adalah ‘rencana besar Tuhan’ dan ‘hukum alam’, sebagaimana pernah disinggung Nabi Muhammad:

Jika aku mengajarkan pada mereka…niscaya akan merusak kerongkongan mereka.

No comments:

Post a Comment