Tak dapat dipungkiri bahwa agama yang dianut seseorang membentuk dasar “Kepribadian“nya. Seberapa besar ia menerima manfaat dari agama yang dianutnya, di dalam membentuk Kepribadiannya, ditentukan oleh seberapa banyak ia berhasil mencerap “nilai-nilai luhur” yang dikandung agama yang dianutnya.
Dalam banyak hal, kepribadian menyangkut “etika moral” seseorang, maksudnya, etika-moral yang diterapkan seseorang dalam hidupnyalah yang terpantul sebagai prilaku yang mencerminkan kepribadian seseorang di mata orang lain.
Dalam sebuah tulisannya, ada yang mengelompokkan umat beragama ke dalam 6 kelompok pandang, sesuai dengan sejauh mana seseorang mampu memandang dan memperlakukan agama yang dianutnya. Ada yang memandang:
- Agama sebagai Organisasi Sosial.
- Agama sebagai Ajaran Etika Moral.
- Agama sebagai Ajaran Spiritual-Religius.
- Agama sebagai Ajaran Spiritual-Filosofis.
- Agama sebagai Pandangan Hidup.
- Agama sebagai Jalan Kesempurnaan dan Kelepasan.
Secara konstekstual, dari ke-enam kelompok pandang ini, yang terkait langsung dengan Kepribadian adalah, memandang agama sebagai ”Ajaran Etika Moral”. Lebih jauh disebutkan bahwa, memandangnya sebagai ajaran yang memberi bimbingan etika-moral, para penganutnya mengekpresikan tuntunan etika-moral yang diajarkan, dalam prilakunya. Beragama bagi mereka adalah penerapan etika-moral sesuai ajaran yang dianut. Disini tampak jelas adanya benang merah antara Agama - Eika Moral - Kepribadian.
Kepribadian dan Penampilan
Seseorang tampil beda di mata orang lain sesuai kepribadian masing-masing. Mereka yang murah senyum, ramah, terbuka, pendengar yang baik, penuh pengertian, punya tenggang-rasa, polos, murah hati, sederhana, jujur, mudah beradaptasi dengan lingkungan, berani dan mau mengalah, cerdas, disenangi oleh banyak orang dan dapat dijadikan sahabat yang baik.
Dalam sebuah makalahnya, yang berjudul “ Penampilan sebagai Penunjang Keberhasilan”, Kusumadewi mengemukakan bahwa, penampilan yang baik akan lebih memukau, jika disertai dengan pancaran kepribadian yang menyenangkan.
Dalam makalah yang sama, ia juga mengajukan “10 - Pedoman Pokok”, yang dapat membuat orang lain menyukai Anda sepenuh hati. Kesepuluh pedoman yang dipetik dari buku Dr. Dale Carnegie berjudul “How To Win Friends And Influence People” tersebut adalah:
1) Hindari kebiasaan mengkritik seseorang, karena berbagai kekurangan, kekeliruan dan ketidaktahuannya.
2) Hargai orang lain dengan tulus dan sejujurnya.
3) Biasakanlah selalu tersenyum.
4) Dalam pergaulan, usahakan dapat ‘mengingat nama’ orang yang pernah dikenal atau pernah diperkenalkan. Oleh karena, namanya adalah kata terindah yang diucapkan orang lain ditelinga.
5) Dalam berbicara dengan orang lain, usahakan menjadi pendengar yang baik. Doronglah ia agar mengungkapkan sebanyak-banyaknya tentarig dinnya, persoalannya dan kepentingannya.
6) Dalam berbicara dengan orang lain, tempatkan kepentingannya dalam fokus pernbicaraan. Dengan kata lain, lakukan pembicaraan dan kacamata kepentingan yang bersangkutan.
7) Dalam menghadapi orang lain, usahakan agar orang lain merasa dirinya penting, dan lakukan itu dengan setulus-hati, bukan dibuat-buat.
8) Jika Anda bersalah, segera akui kesalahan tersebut dengan jujur dan rendah hati.
9) Hargai pendapat orang lain, walaupun Anda tidak sependapat.
10) Jangan salahkan orang lain dengan cara mempermalukannya. Meskipun orang tersebut bawahan Anda atau pembantu Anda sekalipun.
Kesepuluh pedoman pokok dan Dale Carnegie di atas dapat dilaksanakan setiap orang, jika yang bersangkutan memang bertekad ingin meningkatkan pesona kepribadiannya. Hambatan untuk mengikuti kesepuluh pedoman di atas biasanya adalah ‘kesibukan’. Ketika kesibukan memuncak, kita cenderung menjadi ‘tidak sabar’. Ketidak-sabaran sering mendorong seseorang lupa menempatkan dirinya dalam suatu keselarasan dan keseimbangan dengan perasaan dan kepentingan orang lain.
Memang Kepribadian adalah salah satu komponen utama “inner beauty” seseorang disamping Kecerdasan-nya. Oleh karenanya, ia kini menjadi salah satu bidang yang diajarkan dalam institusi pendidikan dan pelatihan formal maupun informal, khusus untuk itu antara bagaimana seseorang memandang agama yang dianutnya, dan menjadikan ajaran etika-moralnya sebagai pedoman hidup, serta penampilan dan kepribadiannya secara menyeluruh.
Agama dan Spiritualitas
Bagi awam, bisa jadi antara pengertian agama dan spiritualitas serasa kabur. Para agamawan seringkali bicara soal spiritual, sementara kaum spiritualis juga sering kali berpijak dan mengacu pada ajaran agama tertentu, yang dianutnya. Fakta ini menambah kebingungan awam tentang yang mana ajaran spiritual dan yang mana doktrin atau ajaran agama.
Kendati dalam ajaran-ajaran agama terkandung ajaran spiritual, namun ternyata tidak semua ajaran-ajaran agama atau aktivitas keagamaan langsung dapat atau digolongkan ajaran atau merupakan laku spiritual. Ajaran etika-moral, misalnya, diajarkan pada setiap agama besar di dunia, namun hingga batas-batas tertentu ia bukanlah ajaran spiritual.
Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran etika-moral dan suatu agama-lah yang akan lebih tampak di permukaan, lebih kasat indriya, oleh karena ia tercermin dalam tingkah-laku dari penganutnya. Ia secara langsung dapat dirasakan nilai manfaatnya, baik bagi pribadi yang bersangkutan maupun bagi lingkungan sosial dimana mereka berinteraksi. Di mata kebanyakan orang, bahkan ajaran etika-moral itulah yang dinobatkan sebagai keseluruhan dari ajaran agama itu sendiri. Ungkapan seperti: “Prilakunya sama sekali tidak mencerminkan prilaku umat beragama” dan semacamnya, mewakili pandangan kebanyakan orang terhadap apa ajaran agama itu di mata mereka.
Di kalangan umat Hindu di Indonesia, ajaran etika-moral disebut susila. Ia merupakan salah-satu dari tiga kerangka landasan utama umat Hindu, dalam kehidupan religiusnya. Dua kerangka landasan utama lainnya masing-masing adalah : ritual atau upacara dan ajaran kefilsafatannya sendiri atau tattwa. Dalam prakteknya, upacara-lah yang tampak menonjol, seperti juga susila dalam pergaulan sosial. Ajaran kefilsafatannya, disamping memang bersifat pribadi dan tak tampak dipermukaan, rupanya juga kurang mendapat perhatian yang proporsional.
Di antara ketiga kerangka landasan utama tadi, dimanakah terkandung ajaran teori maupun praktek spiritualitas Hindu? Mungkin timbul pertanyaan demikian di benak Anda. Dalam Hindu ia termaktub dalam ketiganya, dalam derajat penekanan yang berbeda-beda. Maksudnya, bila dalam susila ia berupa larangan ataupun anjuran, pengekangan indriya, pengendalian diri, pensucian-diri serta peraturan tingkah-laku pendukung lainnya, yang dalam praktek spiritual, Yoga, disebut Yama-Niyama, maka dalam upacara termaktub praktek persembahyangan, upasana, perafalan japa-mantra, pranayama, meditasi atau dhyana, perenungan suci atau vichara dan lain sebagainya. Dalam tattwa, jelas termaktub substansi landasan filosofis dan praktek spiritual itu sendiri, yang juga melandasi ajaran etika-moral hingga praktek ritualnya.
Dalam ceramah bulan Juni 2000-nya, Swami Krishnananda-Sekjen. The Divine Life Society -- antara lain mengatakan: “Agama dan spiritualitas adalah dua faktor penentu didalam mencapai nilai kehidupan yang lebih tinggi”. Beliau menyebutkan ‘nilai kehidupan’ disini, dan bukannya, secara terbatas, mencapai kesejahteraan hidup ataupun mencapai sorga ataupun menghindari neraka. ‘Nilai kehidupan yang lebih tinggi’, mempunyai arti yang jauh lebih luas, dibandingkan sekedar kesejahteraan hidup di dunia atau masuk sorga sekalipun.
Pernyataannya itu dilengkapi lagi dengan penjelasan : “Kedua fungsi panggilan di dalam ini bagi manusia, berkaitan erat dengan kehidupan di dunia dan kehidupan dalam Tuhan. Hubungan antara dunia dan Tuhan juga adalah hubungan agama dengan spiritualitas. Disebutkan bahwasanya Tuhan memanifestasikan Diri-Nya sebagai dunia. Oleh karenanya, dengan cara yang sama, kita dapat mengatakan bahwa spiritualitas memanifestasikan diri sebagai agama”.
Dengan jelas dapat dipahami dua hal penting sehubungan dengan agama dan spiritualitas. Yang pertama adalah, bila agama berkaitan erat dengan kehidupan duniawi, maka spiritualitas justru lebih berkaitan dengan kehidupan ketuhanan dan realisasi Kesadaran Tuhan itu sendiri. Yang kedua adalah, spiritualitas mempunyai lingkup yang lebih luas, lebih tinggi, lebih halus dan transendental ketimbang agama, sejauh agama merupakan manifestasi dan spiritualitas. Jadi, guna merefleksikan rasa spiritialitas kitalah kita menganut dan mematuhi ajaran-ajaran agama. Namun dalam kehidupan sehari-hari seringkali justru kita saksikan yang sebaliknya.
Baik dalam Hindu maupun dalam Buddha, 'pandangan yang benar’ terhadap ajaran menempati posisi yang sangat penting. Bukan saja dalam praktek relijiusitas, dalam kehidupan sehari-haripun sesungguhnya juga demikian. Obat misalnya, apalagi bila ia adalah obat-keras, tidak akan sepenuhnya bermanfaat demi kesehatan bilamana kita tak mengetahui bagaimana aturan-pakainya secara benar. Bila tidak, jangan-jangan kita malahan bisa overdosis. Sebetulnya banyak contoh-contoh lain untuk dikemukakan disini, yang dapat kita saksikan kehidupan sehari-hari di lingkungan masing-masing, sehubungan dengan betapa pentingnya ‘pengertian yang benar’ dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam agama, dimanakah pengertian yang benar itu bisa kita peroleh? Ia dapat kita temukan dalam ajaran-ajaran ke-filsafatan-nya, dalam Hindu ia diperoleh dalam tattwa-tattwa atau darshana-darshana. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kedua kerangka landasan utama Hindu lainnya (susila dan upacara) secara kokoh berlandas pada ajaran filsafat Hindu itu sendiri. Teks yang memuat ajaran kefilsafatan Hindu ada banyak jumlahnya. Mereka secara mengkhusus berupa kitab-kitab Upanishad dan kitab-kitab Darshana, disamping secara parsial dapat juga ditemukan di dalam bentuk sajian Veda-veda lainnya, seperti : Itihasa, Agama (bukan padan-kata dari kata "religion"), Shastrashastra dan Tattwa. Yang disebutkan terakhir agaknya khas Nusantara.
Dari tinjauan sekilas kita tentang agama, kepribadian dan spiritualitas ini, disamping kita dapat melihat keterkaitan-eratnya, juga tampak bahwasanya seorang spiritualis tidaklah secara otomatis dan harus sebagai anggota atau umat agama terorganisasi tertentu; namun sebaliknya, akan terasa ‘kurang’ bila dalam praktek keagamaan umatnya --hingga batas-batas tertentu-- tidak mempraktekkan laku-spiritual (sadhana) atau menerapkan ajaran spiritualitas dalam kehidupan beragamanya.
artikel ini sangat bagus,seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita tidak memperdulikan hubungan anatara agama dan spiritual,padahal itu sangat penting dalam membentuk kepribadian seseorang. terima kasih sudah memposting artikel in,sangat bermanfaat^^
ReplyDelete