~ It's simple. Just say what you want (Don't say what you don't want)... ~

Monday, September 13, 2010

Berani Mati, tapi Takut Hidup.


...Lahir-Hidup-Mati...
Jasad : Lahir & Mati...
Nafsu : Hidup & Mati...
Ruh : Hidup & Takkan Mati...


Yang memandang keberadaannya sebagai ‘raga yang berjiwa’ tidak akan pernah bisa melihat semua makhluk-hidup sebagai setara, tidak bisa menerima kalau segenap umat manusia bersaudara, tidak akan bisa menerima bahwa kita semua pada dasarnya sama. Karena raga atau jasmani —yang kasat-indria— inilah yang membedakan kita. Di mata mereka, itulah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, secara fundamental.

Yang memandang keberadaannya sebagai ‘raga yang berjiwa’ akan selalu membeda-bedakan; ini cantik—itu jelek, ini keturunan bangsawan—itu keturunan rakyat jelata, ini kaya—itu miskin, ini lelaki dan itu wanita, ini tua dan itu muda, dst...dst....Sebab bagi mereka perbedaan itu sangatlah nyata, kasat-indria.

Pola-pikir kasat-indria (sakala) sangat bersesuaian dengan pola-pandang ini. Padahal, nyaris tak ada manusia [duniawi] yang tidak menganut pola-pandang ini. Inilah persoalan pelik yang akan dihadapi oleh siapa saja yang punya niat luhur mempersatukan umat manusia. Mereka lebih suka mengurung dirinya di dalam kerangkeng-kerangkeng pemikiran sempit dan sumpek, ketimbang bebas di alam terbuka dalam segala keleluasaannya yang melegakan. Walaupun mereka berkoar-koar menyuarakan kebebasan, sebetulnya mereka takut bebas; mereka menatap kebebasan dengan rasa ngeri.

Yang menganut pola-pandang ini juga sangat takut pada kematian. Kalangan merekalah yang melontarkan ‘fitnah’ bahwa, “hidup ini hanya sekali saja” —makanya nikmatilah kesenangan duniawi dan kenikmatan ragawi sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya; kalangan mereka jualah yang mensugesti publik dengan kebohongan bahwasanya “kematianlah yang paling menakutkan di muka Bumi ini”. Mereka lupa kalau mereka sendiri lebih takut kepada penderitaan hidup ketimbang kematian itu sendiri. Kalangan mereka ini jualah yang akan lari terbirit-birit dan akan lebih memilih mati ketimbang hidup sengsara. Walaupun mereka kelihatan menggagah-gagahkan dirinya sebagai ‘pasukan berani mati’ karena iming-iming sorga sesudahnya, sebetulnya mereka ‘sangat takut hidup’.

Kalau mau dilihat sedikit lebih ke dalam lagi, dengan sedikit lebih seksama lagi, sebetulnya kita juga berbeda dalam kualitas mental. Kepribadian kita masing-masing berbeda. Namun tak berarti kalau perbedaan itu tak bisa dipersatukan, diselaraskan, diharmonisasikan. Sesuatu yang secara hakiki tidak berbeda dengan yang lainnya, yang perbedaannya hanya sebatas kulit-luar semata, hanya sebatas ‘kelihatannya’ saja, selalu bisa dipersatukan.

Fakta ini bisa dibuktikan langsung. Adanya bahtera rumah-tangga —darimana kita dihasilkan— misalnya, merupakan salahsatu bukti konkrit yang tiada terbantahkan. Kalaupun mau diuraikan secara ilmiah, tubuh inipun sebetulnya terbuat dari unsur-unsur dasar hakiki yang sama. Demikian pula tataran mental ini. Kita semua punya pikiran —yang merupakan sisi aktif dari tataran mental, serta perasaan— yang merupakan sisi pasifnya. Betapa rendahpun kepekaannya, kita sama-sama punya persepsi dan kecerdasan. Kita juga sama-sama punya naluri, yang kalau berhasil dispiritualisasikan bisa menjadi intuisi. Dan yang paling mendasar adalah, kita semua ‘merasa ada’, kita semua sadar, punya kesadaran —betapa rendahpun martabatnya.

Itu saja sudah menunjukkan kalau pada dasarnya kita ini sama. Terlalu banyak kesamaan esensial, yang semua menyulitkan kita untuk membedakan diri. Padahal, kedua tataran ini —fisikal dan mental ini— bukanlah eksistensi hakiki kita. Mereka tak-ubahnya pakaian luar dan pakaian dalam yang kita kenakan. Seberapa seringpun kita berganti pakaian luar dan pakaian dalam dalan sehari, kita tetap orang yang sama bukan? Kalaupun kita bersikeras hendak membedakan diri masing-masing, maka seharusnya kita bisa mengemukakan perbedaan esensialnya, perbedaan hakikinya. Bukan sekedar menonjolkan perbedaan superfisialnya —yang masuk-akal namun teramat sangat dangkal—itu. Apa lagi sekedar perbedaan atribut tempelan —seperti: jender, usia, suku, ras atau kebangsaan, agama atau kepercayaan atau ideologi yang dianut, kedudukan atau jabatan, status sosial-ekonomi atau sosial-politik, dan lain sebagainya itu.

Ajaran luhur mengajarkan bahwa eksistensi hakiki kita semua adalah Jiva, Atman, Sang Diri-Jati. Kita bukanlah wujud ini; raga ini tak-ubahnya pakaian-luar dan batin sebagai pakaian-dalam yang dikenakan oleh Sang Jiva pada kesempatan tertentu, untuk kurun waktu tertentu, dan untuk kepentingan tertentu saja.

Semoga Cahaya Agung-Nya senatiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.

Semoga kedamaian dan kebahagiaan menghuni kalbu semua insan.




Tahu kenapa?
Karena semua belum sadar akan siapa ia adanya.

No comments:

Post a Comment