~ It's simple. Just say what you want (Don't say what you don't want)... ~

Tuesday, September 7, 2010

Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan



Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan ......              "AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di  jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,  menggemakan ucapan-ucapan kita."  Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya,  Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan  abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. "Tetapi, kota Anatolia Tengah  ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi," tulis Talat Said  Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.       Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi  mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para  darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah  menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk  memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.       Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di  tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? "Dialah penyair  mistik terbesar sepanjang zaman," kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson.  "Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci," seru Jami, penyair Persia  Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.       Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas,  Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,  "Maulana mengubah tanah menjadi madu.... Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup  dari napasnya." Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:  "Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi."       Besar dalam kembara       Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia  Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota  Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat  antara Sultan dan Walad.   Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan  Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,  keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan  Seljuk Alauddin Kaykobad.        Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, "Kendati saya tak  pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan  pengikut setia Anda." Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu'min Khatum, meninggal  dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra   pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah  ke Konya, 100 Km dari Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah.  1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82  tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia.        Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan  ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah  kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin  Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru  telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun  menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4  abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk  menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri.  Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri.       Cinta adalah menari        Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua  ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki,  Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru  bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari  madrasah,        seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan  menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!             Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, "Siapa yang lebih  agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, 'Kami tak mengenal-Mu seperti  seharusnya' atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, 'Subhani,  mahasuci diriku, betapa agungnya     kekuasaanku'. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi.  Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia  menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai  menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat,  selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan  dasar manusia, khusuk  menuju Cinta Ilahiah.        Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat  Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia  gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.Tapi, suatu pagi, seorang pandai  besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat  dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi  ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan  Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun  dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. "Tarian para  darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan  Syams," jelas Talat.       Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari,  karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat  peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang  dicintai.(Aulia A Muhammad)       Copyright © 2004 SUARA MERDEKA       Undangan Workshop RUMI, Whirling Dervishes ( Tari Spiritual SAMA, Rumi)       UNDANGAN KAJIAN LEPAS KERJA MASJID BAITUL IHSAN BANK INDONESIA, JL. tHAMRIN / JL. BUDI KEMULIAAN.       Tema: " Ekspresi Seni Para Pecinta " Menampilkan Whirling Darvishes Jalaludin Rumi Presentasi Workshop Tari "SAMA" Whirling Dervishes       Mari Kemari, Datang..Datanglah Mari kemari datanglah siapapun dirimu. Pengelana, Peragu, dan Pecinta mari..kemari datanglah Tak penting kau percaya atau tidak.. Mari, kemari … datanglah       Kami bukanlah caravan yang patah hati ... atau pintu-pintu dari keputus asa-an,  Mari kemari datanglah...  Meski kau telah jatuh ribuan kali,  Meski kau telah patahkan ribuan janji,  Mari kemari…datang... datanglah sekali lagi…       ( Mawlana Jalaludin Rumi ) 


No comments:

Post a Comment