digambarkan sebagai
berikut:
Ana pandhita akarya
wangsit, kaya kombang
...anggayuh tawang,
susuh angin ngendi
nggone, lawan galihing
kangkung, watesane
langit jaladri, tapake
kuntul nglayang lan
gigiring panglu, dst.
Di sini jelas bahwa
“ sesuatu” yang dicari
itu adalah: susuh angin
(sarang angin), ati banyu
(hati air), galih kangkung
(galih kangkung), tapak
kuntul nglayang (bekas
burung terbang),gigir
panglu (pinggir dari
globe),wates langit
(batas cakrawala), yang
merupakan sesuatu
yang “tidak
tergambarkan” atau
“tidak dapat
disepertikan” yang
dalam bahasa
Jawa ” tan kena kinaya
ngapa” yang
pengertiannya sama
dengan “Acintya”
dalam ajaran Hindu.
Dengan pengertian
“ acintya” atau
“sesuatu yang tak
tergambarkan” itu
mereka ingin
menyatakan bahwa
hakekat Tuhan adalah
sebuah
“ kekosongan”, atau
“suwung”,
Kekosongan adalah
sesuatu yang
ada tetapi tak
tergambarkan. Semua
yang dicari dalam kidung
dhandhanggula di atas
adalah “kekosongan”
Susuh angin itu
“ kosong”,
ati banyu pun
“ kosong”, demikian
pula “tapak kuntul
nglayang”
dan “batas
cakrawala”.
Jadi hakekat Tuhan
adalah “kekosongan
abadi
yang padat energi”,
seperti areal hampa
udara yang menyelimuti
jagad
raya, yang meliputi
segalanya secara
immanen sekaligus
transenden,
tak terbayangkan
namun mempunyai
energi luar biasa, hingga
membuat
semua benda di angkasa
berjalan sesuai
kodratnya dan tidak
saling
bertabrakan. Sang
“ kosong” atau
“suwung” itu meliputi
segalanya, “suwung
iku anglimputi sakalir
kang ana ”. Ia seperti
udara yang tanpa batas
dan keberadaannya
menyelimuti semua yang
ada,
baik di luar maupun di
dalamnya.
Karena pada diri kita ada
Atman, yang tak lain
adalah cahaya atau
pancaran energi Tuhan,
maka hakekat Atman
adalah juga
“kekosongan
yang padat energi itu”.
Dengan demikian apabila
dalam diri kita
hanya ada Atman, tanpa
ada muatan yang lain,
misalnya nafsu dan
keinginan, maka
“energi Atman” itu
akan berhubungan atau
menyatu
dengan sang “sumber
energi”. Untuk itu yang
diperlukan dalam usaha
pencarian adalah
mempelajari proses
“ penyatuan” antara
Atman dengan
Brahman itu. Logikanya,
apabila hakekat Tuhan
adalah “kekosongan”
maka untuk menyatukan
diri, maka diri kita pun
harus “kosong”,
Sebab
hanya “yang kosonglah
yang dapat menyatu
dengan sang maha
kosong ”.
Caranya dengan
berusaha
“ mengosongkan diri”
atau “membersihkan
diri”
dengan “menghilangan
muatan-muatan yang
membebani Atman ”
yang berupa
berbagai nafsu dan
keinginan. Dengan kata
lain berusaha
membangkitkan energi
Atman agar tersambung
dengan energi Brahman.
Dengan uraian di atas
maka cara yang harus
ditempuh adalah
melaksanakan “yoga
samadi”, yang intinya
adalah menghentikan
segala
aktifitas pikiran beserta
semua nafsu dan
keinginan yang
membebaninya. Sebab
pikiran yang selalu
bekerja tak akan pernah
menjadikan diri
“ kosong”. Karena itu
salah satu caranya
adalah
dengan “Amati
Karya”, menghentikan
segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan”
merupakan hakekat
Tuhan, apakah
Padmasana, yang
di bagian atasnya
berbentuk “kursi
kosong”, dan dianggap
sebagai
simbol singgasana
“ Sang Maha Kosong”
itu adalah perwujudan
dalam
bentuk lain dari apa
yang dicari orang Jawa
lewat kidung-kidung
kuna
itu? Apa sebabnya di
Jawa tidak ada dan baru
diwujudkan dalam
bentuk
bangunan ketika leluhur
Jawa berada di Bali?
Mungkin saat itu di
Jawa memang tidak
membutuhkan hal itu,
karena masyarakat
Jawa lebih
mementingkan
“pemujaan leluhur”,
yang dianggap
sebagai
“ pengejawantahan
Tuhan”. Kata-kata
Wong tuwa iku
Pangeran
katon atau Orang tua
(leluhur) itu Tuhan yang
nampak, adalah bukti
adanya kepercayaan
tersebut.
No comments:
Post a Comment