~ It's simple. Just say what you want (Don't say what you don't want)... ~

Saturday, September 11, 2010

ANALISIS KRITIS KONSEP WAHDATUL WUJUD DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI

A.PENDAHULUAN

Islam adalah agama, sementara Tasawuf adalah suatu metode, dimana metode tersebut bisa benar dan bisa salah. Untuk itu, kalau kita pertanyakan bahwa ada kedudukan tasawuf dalam islam. Maka jawabanya ada sebab kalau orang tasawuf mempercayai islam, maka kontek tasawuf disini lebih mengarah kepada perilaku, seseorang untuk mencapai keridoan tuhan. Jadi Tasawwuf itu harus melalui Iman (akidah), Islam (syari’ah) dan Ihsan (Hakikat) Atau amal Syari’ah, Thoriqoh dan Hakikah. Maka wajiblah beramal dengan Islam, Maka tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih, karena kau tidak mengetahui hukum-hukum ALLAH Ta’ala yang lahir kecuali dengan fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali dengan tasawuf, karena tidak ada amal dengan kebenaran pengarahan (kecuali dengan tasawuf). Dan juga tidak ada tasawuf dan fiqih kecuali dengan Iman, karena tidaklah sah salah satu dari keduanya (fiqih dan tasawuf) tanpa iman. Maka wajiblah mengumpulkan ketiganya (iman, fiqih, tasawuf) . (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 5).
Dalam mempelajari tasawuf, pasti kita kan menemukan berbagai istilah seperti wahdatul wujud, fana’, baqa’, zuhud, tazkiyatun nafsi, dan lainnya. Yang kesemuanya itu dalah pemahaman hasil pencarian para ulama sufi.
Perkataan “Wahdatul-Wujud” ini sering diperbincangkan oleh ramai para cendikiawan Islam. Biasanya sering dikaitkan dengan golongan sufi dan tasawwuf malah golongan tawassuf turut disesatkan oleh sebahagian orang dengan masalah “Wahdatul-wujud” ini. Sehingga menurut penulis perlu kiranya meluruskan statemen tersebut. Konsep ini lebih dikaitkan dengan Ibnu ‚Arobi.
Konsep wahdatul wujud dalam tasawuf menjadi kontroversi. Ada golongan yang menyesatkan kaum sufi secara keseluruhan kerana Wahdatul-wujud ini dan ada juga yang tersesat dengan kefahaman yang salah terhadap Wahdatul-wujud ini juga. Namun, di antara kedua-dua golongan tersebut, golongan yang benar adalah golongan yang menghayati Wahdatul-wujud dengan makna yang sebenarnya.
Wahdatul Wujud itu sendiri mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Adapun orang yang awam memahami tentang maksud kaum sufi yang benar dan para wali yang arif tentang wahdatul-wujud, bersikap menolak wahdatul-wujud secara mutlak, dengan memukul sama rata, antara kefahaman yang benar tentang wahdatul-wujud yang dimaksudkan oleh para sufi yang benar dengan kefahaman yang salah tentang wahdatul-wujud yang diketengahkan oleh orang-orang yang sesat, namun masih menggunakan nama sufi dan tasawwuf, padahal kaum sufi yang benar dan ahli tasawwuf yang sejati, berlepas tangan daripada mereka.
Untuk itu sebagai upaya untuk meluruskan pemahaman masyarakat tentang wahdatul wujud, maka menurut penulis perlu kira untuk meluruskan kembali pemahaman tersebut ag sar tidak timbul kembali pemahaman yang salah.

B.KAJIAN TEORI

Pengertian Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi [rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah
Reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam[15].
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu–ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Tasawuf adalah suatu metode, dimana metode tersebut bisa benar dan bisa salah. Untuk itu, kalau kita pertanyakan bahwa ada kedudukan tasawuf dalam islam. Maka jawabanya ada sebab kalau orang tasawuf mempercayai islam, maka kontek tasawuf disini lebih mengarah kepada perilaku, seseorang untuk mencapai keridoan tuhan. Jadi Tasawwuf itu harus melalui Iman (akidah), Islam (syari’ah) dan Ihsan (Hakikat) Atau amal Syari’ah, Thoriqoh dan Hakikah. Maka wajiblah beramal dengan Islam, Maka tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih, karena kau tidak mengetahui hukum-hukum ALLAH Ta’ala yang lahir kecuali dengan fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali dengan tasawuf, karena tidak ada amal dengan kebenaran pengarahan (kecuali dengan tasawuf). Dan juga tidak ada tasawuf dan fiqih kecuali dengan Iman, karena tidaklah sah salah satu dari keduanya (fiqih dan tasawuf) tanpa iman. Maka wajiblah mengumpulkan ketiganya (iman, fiqih, tasawuf) . (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 5).
Dalam tasawuf kita juga berbicara hal-hal lain selain syariat, kthoriqot, dan hakikat, akan tetapi kita juga akan berbicara tentang konsep-konsep lain dalam tasawuf seperti maqomat, konsep spiritual, wahdatul wujud dan lain sebagainya. Konsep-konsep dalam tasawuf memang seringkali menjadi sebuah kontroversi, terutama konsep wahdatul wujud.
a)Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Tentu saja hal-hal tersebut di atas sangat bertentangan dengan syariat islam, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Menurut aqidah tasawuf, Wahdatul Wujud bererti tiada yang wujud di alam buana ini selain Allah. Segala bentuk rupa makhluk yang kelihatan hanyalah gambaran luaran bagi hakikat yang satu iaitulah hakikat Allah (تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا). Kewujudan rupa bentuk hakikat ini di alam buana yang kelihatan itu adalah berbagai-bagai aneka. Tetapi alam buana ini, menurut aqidah batil yang mereka dakwakan itu, adalah Allah sendiri (تعالى الله عن ذلك).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
b)Konsep Wahdatul Wujud

Konsep Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arobi

Ibn Al-‘Arabi adalah penganut faham Tauhid Wujudi bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini. Pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam dari kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah wahdatul wujud dalam kitabnya namun istilah ini dicetuskan oleh orientalis. Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wahdatul wujud.
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn Arabi mengungkapkan:
“ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang dikenal dengan Insan Kamil”.
1.Pandangan Ibnu ‘Arobi tentang Alam
Dalam pandangannya tentang alam, beliau sepakat dengan nadhriyah faidhiyah-nya Plato bahwasanya Allah adalah wujud yang satu, kemudian Ia menciptakan akal-1 yang melahirkan materi-materi di alam, kemudian menciptakan akal-2 yang juga melahirkan materi-materi baru lainya. Kemudian menciptakan akal-3, akal-4 dan seterusnya. Dari sini Ibnu ‘Arobi meyakini bahwa Allah memunculkan sesuatu dari wujud ‘ilmi (abstrak) ke wujud ‘aeni (kongkrit). Kemudian beliau membuat intepretasi bahwa munculnya segala materi dialam ini merupakan pancaran Tuhan yang terus menerus dan tidak akan pernah hilang/berakhir.
Oleh karena itu beliau menafikan imkan (mungkin adanya) dan hanya mengambil yang wajib (wajib adanya) karena imkan itu adanya diadakan oleh yang lain, dan selalu ada dua kemungkinan antara wujud (ada) atau adam (tidak ada). Tapi beliau meyakini adanya imkan dhoruri (mungkin adanya tapi bersipat harus) yang disebutnya dengan ‘materi tetap’. Atau yang disebut para filisof dengan wajibul wujud bil ghoir (wajib adanya kerena ada yang mengadakan). Artinya ‘materi tetap’ ini adanya dengan quwwah (kekuasaan Allah) dibarengi dengan fi’il (aksi). Sebagai contoh sederhananya manusia berdiri dengan quwwah dan berjalan dengan fi’il. Begitu juga dengan penciptaan alam ini.
Beliau juga menerangkan hikmah diciptakannya makhluk dengan menyitir hadits Qudsii “Aku adalah kanjzan (pusaka) yang tersembunyi. kemudian Aku ciptakan sesuatu, maka dengan sesuatu itulah mereka mengetahui-Ku”. Dari hadits ini beliu berpendapat bahwa tujuan Allah menciptakan makhluknya khususnya manusia yang terpancar didalamnya (makhluk) nama dan sifat-sifat-Nya, sehingga dengan itulah makhluk mengenali Allah.
Maka menurutnya hakekat wujud itu hanya satu saja. Sedangkan adanya perbedaan antara Dzat dan mumkinat hanya perbedaan ‘itibariyah saja, akan tetapi akal kita yang terbataslah yang menjadikan perbedaan antara keduanya perbedaan hakikiyah. Kesimpulannya bahwa materi yang ada merupakan penampakan adanya Allah (’ainu wujudullah), sedangkan kenapa wujud itu terlihat banyak, jawabannya karena akal manusialah yang lemah untuk mengetahui ‘dzat tunggal’ sesuatu (aiwihdah ad dzatiyyah lil ashya).
Maka dengan mengetahui bagaimana pandangan beliau tentang alam ini kita bisa tahu bahwa beliau adalah seorang penganut wihdatul wujud.
2.Pandangan Ibnu ‘Arobi tentang Manusia Sempurna (Al Insan Al Kamil).
Dari paham wihdatul wujud-nya, maka lahirlah teori tentang manusia sempurna. Menurutnya manusia sempurna tidak lain adalah alam semesta. Jadi ketika Allah hendak melihat ‘aen-Nya (kekuasaan dan sifat-sifat-Nya) maka Ia akan melihat manusia sempurna, karena manusia sempurna setara keindahannya dengan alam semesta yang merupakan bukti ke Maha Agungan-Nya.
Ibnu ‘Arobi juga berpandangan bahwa alam ini berdirinya dengan manusia sempurna, alam ini akan tetap terjaga selama manusia sempurna itu ada. Menurutnya manusia sempurna atau yang dikenal juga dengan cahaya Muhammad (nuurul muhammadi) merupakan sumber semua syare’at (agama), nubuwat (kenabian), para wali, dan para sufi.
Bagi Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan Kamil. Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “Muhammad” dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad — sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia. Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.

Konsep wahdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki/mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah Keniscayaan bagi keberadaan wujud wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak. Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang Berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big Bang, yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang lalu. Oleh karena itu alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.

Konsep Wahdatul Wujud Syekh Siti Jenar

Ajaran-ajaran tentang wahdatul wujud Ibn Arabi rupanya juga telah terserap atau tampak dalam mistik kaum kejawen di Indonesia. Salah satu penganut wahdatul wujud di indonesia adalah salah seorang ulama alim ternama ketika masa para wali yaitu Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran - ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Dalam ajaran Kejawen ada istilah “Manunggaling Kawula Gusti”. Hal ini sering diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan bahwa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun) yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), derivate (emanasi, pancaran, tajali) Tuhan.
Hal ini bisa dilihat dari “Wirid 8 Pangkat Kejawen”:
Wejangan panetepan santosaning pangandel, yaiku bubuka-ning kawruh manunggaling kawula-gusti sing amangsit pikukuh anngone bisa angandel (yakin) menawa urip pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejating Urip). Pangeran iku ya jumenenge urip kita pribadi sing sejati. Roroning atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pageran. Dununge mangkene : “Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran”. Menawa bisa nampa pituduh sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggaal tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.
Terjemahannya :
Ajaran pemantapan keyakinan, yaitu pembukanya kawruh (ilmu) “Manunggaling Kawula Gusti” yang memberikan wangsit (petunjuk) keteguhan untuk bisa yakin bahwa hidup kita pribadi sesungguhnya dirasuki Dzatnya Pangeran Pangeran (Dzat Urip, Sejatining Urip). Pangeran itu bertahtanya pada hidup kita yang sejati. Dwitunggal (roroning atunggal) yang disebut dan yang menyebut. Sedangkan pengertian utusan itu cahaya hidup kita pribadi, karena cahaya hidup kita itu menjadi pertanda adanya Pangeran. Maksudnya : “Sesungguhnya nyata semua datang kepada kamu utusan Pangeran (memancar) keluar dari dirimu sendiri. Sebenarnya utusan itu mencukupi semua yang kamu inginkan, kalau percaya pasti mendapatkan pengampunan dari Pangeran”. Bila bias menerima petunjuk yang seperti ini supaya awas dan hati-hati, ya hidup kita ini bertahtanya nugraha dan anugrah. Nugraha itu gusti (tuan) sedang anugrah itu kawula (abdi). Bersatu tanpa batas pemisah dalam badan kita sendiri.
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia (”Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)”)>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.
Menurut R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873), Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngaurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yang bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang Ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah “Tunggal”.
Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti mengajarkan bahwa ada 3 unsur yang menyatu yaitu :
1. Sukma Kawekas (Nur Illahi)
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan
c)Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Wahdatul Wujud

Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Wahdatul Wujud benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya menurut sangkaan mereka?!
Dali-dalil tersebut adalah:
1.Surat Al Hadid 5 :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”
2.Surat Qaaf 16 :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Yang artinya: “Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.
3.Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)

C.ANALISA KRITIS
Menurut hasil analisa penulis, salah satu factor keberhasilan Ibn Arabi dari doktrin tasawufnya adalah kemampuannya untuk keluar dari pemahaman agama yang dogmatis dan literalis. Bagi Ibn Arabi, semua ajaran agama dalam Alquran maupun Hadis adalah bentuk dari simbol-simbol kebijaksanaan Tuhan yang harus terus-menerus digali. Bahkan menurutnya, kebijaksanaan Tuhan yang disampaikan melalui wahyu itu tak terputus hingga sekarang. Wahyu bagi Ibn Arabi bukanlah sekadar proses inzal (turunnya) sebuah ayat dari Tuhan melalui Jibril. Tapi lebih dari itu, wahyu baginya adalah proses imajinasi kreatif manusia yang mencari kebenaran Tuhan.
Semangat untuk keluar dari pemahaman agama yang kaku dan dogmatis inilah yang harus terus dikembangkan dalam khazanah keilmuan Islam saat ini. Ibn Arabi dengan petualangan spiritualnya telah memberi contoh yang sangat baik. Artinya, memahami Ibn Arabi bukanlah berhenti pada pemahaman ajaran-ajarannya yang rumit itu. Yang jauh lebih penting untuk terus-menerus dikembangkan adalah semangat perenungan dan petualangannya yang tak pernah berhenti.
Menurut Ibn Arabi adalah citra kesempurnaan Tuhan adalah adam. Melalui Adamlah Tuhan memanifestasikan sifat ketuhananan-Nya. Ibn Arabi menganggap bahwa Tuhan pada mulanya adalah entitas yang tersembunyi (kanzun makhfiyy). Ia menampakkan diri ketika menciptakan alam. Tetapi penciptaan alam menurut Ibn Arabi bukanlah bermula dari sesuatu yang kosong, creatio ex nihilo. Alam mengada begitu Tuhan ada. Karena, alam semesta adalah cerminan Tuhan. Sebagaimana pantulan gambar dalam cermin, maka gambar itu ada ketika wujud yang hakiki ada. Pandangan Ibn Arabi tentang alam ini sebenarnya mirip dengan pandangan para filosof yang menganggap alam itu sebagai sesuatu yang azali.
Para pengikut aliran wihdatul wujud yang dianut oleh Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya, menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda illallah (tidak ada yang disembah kecuali Allah) atau Laa ilaha maujudun illallah (tidak ada Ilah yang ada kecuali Allah).
Bila diartikan semacam itu, maka segala sesuatu yang disembah semuanya adalah Allah. Karena menurut pemahaman mereka bahwa Al-Wujud tidak terpilah antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Semuanya (Khaliq dan makhluk) adalah Allah. Pemahaman semacam ini, di kalangan penganut wihdatul wujud, menjadikan al-wujud (menyatu) dan tidak dibedakan (antara makhluk dan Khaliq).
Maka seseorang yang menyembah manusia karena sesuatu, senyatanya dia menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang menyembah sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya diartikan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah adalah sesuatu yang wujud atau ada (al-wujud) secara mutlak (maka setiap yang wujud, seperti sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.).
Bagi mereka, seseorang yang memahami bahwa al-wujud itu terbagi dua bagian: Khaliq dan makhluk, maka orang tersebut dinyatakan sebagai musyrik. Seseorang tidak dikategorikan sebagai muwahhid (bertauhid) menurut mereka, kecuali dia mengatakan, “Sesungguhnya al-wujud (keberadaan) sesuatu itu satu, yaitu Allah.” Inilah kebatilan pemahaman wihdatul wujud, bahwa semua benda yang ada adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau penulis boleh mencontohkan kita bisa mengaplikasikan konsep Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawulo Gusti ketika dalam sholat misalnya, yaitu tahapan yang dicapai ketika dalam keadaan sholat. Karena dalam sholat, kita memi’rajkan ruh kita untuk bersatu dengan ruh pemiliknya (Allah Yang Maha Agung) karena ada ruh Allah dalam badan kita seperti yang tertera dalam Al Qur’an : “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 38)”.
Sebagai penutup, janganlah sekali-kali kita memfonis suatu golongan atau ajaran itu sesat, salah-salah malah justru kita yang sesat. Selama ini banyak sekali orang-orang yang menganggap konsep wahdatul wujudnya Ibnu ’Arobi atau manunggaling kawula gustinya Syekh Siti Jenar adalah sesat bahkan ada yang menganggap kufur atau penyimpangan makna tauhid. Kalau anda analisa secara seksama sebenarnya tidak ada yang sesat dalam ajaran yang di sampaikan oleh ulama-ulama tersebut. Dan para penganutnya pun sebenarnya tidak ada yang menyebut Ibnu ’Arobi atau Syekh Siti Jenar itu adalah Tuhan. Kecuali mereka yang memahaminya secara sempit dan tidak memahami apa sebenarnya yang diajarkan kaum sufi.

DAFTAR PUSTAKA

Mulkhan, Abdul Munir. DR. Makrifat Burung Surga Dan Ilmu Kasampurnaan Syek Siti Jenar. Yogyakarta, Kreasi Wacana, Maret 2004.
M. Dawan Raharjo. Insan Kamil, konsepai manusia sempurna menurut islam. Jakarta 1985. Penerbit GrafitiPers
Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979.
Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
http://id.wikipedia.org/wiki/Syekh_Siti_Jenar
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=440
http://irdy74.multiply.com/recipes/item/50
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1147
http://gantharwa.wordpress.com/2007/02/02/manunggaling-kawula-lan-gusti/
http://www.assalafi.net/print.php?id_artikel=944
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1147
http://bahrusshofa.blogspot.com/2006/08/syaikh-ibnu-arabi.html
http://elfillah.multiply.com/journal/item/5
http://ainuamri.wordpress.com/2007/11/17/ibnu-arabi-dan-wahdatul-wujud. 29 Des 2007 15:30:05 GMT.
http://suluk98.tripod.com/arabi.htm. 28 Des 2007 09:45:37 GMT
http://linkgar.wordpress.com/2007/03/13/wasiat-ibnu-arabi/. 25 Des 2007 21:52:39 GMT.

No comments:

Post a Comment