~ It's simple. Just say what you want (Don't say what you don't want)... ~

Saturday, November 20, 2010

PAKAIAN KEIMANAN.


(foto Mesjid Kudus dengan menaranya yg bergaya arsitektur Hindu)


Kata agama, menurut Kamus Jawa Kuno-Indonesia, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti doktrin atau aturan tradisional yang suci. Dalam bahasa Jawa halus atau krama inggil, agama diucapkan menjadi agami, yang juga mempunyai arti bermaksud pergi atau jalan. Agami juga merupakan akronim dari agemaning iman, yang berarti pakaian iman.

Orang hidup, menurut kedua orangtua saya, wajib memeluk agama, yaitu jalan dan sekaligus pakaian keimanan menuju Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Tunggal (Esa) lagi Maha Kuasa (Wenang). Sebagaimana lazimnya priyayi Jawa yang Islam abangan, kedua orangtua saya percaya, Tuhan dari semua umat manusia itu sama dan satu jua adanya. Agamalah yang kemudian membuat kita berbeda jalan. Ada jalan yang lurus dan dapat langsung ke tujuan, ada yang berbelok-belok, ada yang berputar-putar, keluar masuk jalan besar, jalan kecil, terjal, salah jalan dan sebagainya. Kewajiban kita hanya memberitahu dan mengingatkan, tapi tidak boleh memaksa meskipun terhadap anak kandung sendiri. Karena setiap orang, telah memperoleh peran kehidupannya masing-masing, dan anak hanyalah titipan Allah kepada kedua orangtuanya. Bukan miliknya. Lagi pula tiada paksaan dalam agama. Gusti Allah yang maha Kuasa saja tidak menetapkan semua umatnya memeluk satu agama yang sama. Apalagi kita umatnya yang lemah. Justru perbedaan itulah yang akan menguji manusia, siapa yang taat kepada Gusti Allah dan siapa yang tidak. Bukankah Tuhan sudah menciptakan surga dan neraka? Baik dan buruk, lapar dan kenyang, panas dan dingin? Semuanya berpasangan. Surga dan neraka diciptakan untuk diisi.
Marilah kita berupaya untuk menjadi penghuni surga tanpa mengklaim diri sebagai pemegang kunci surga.

Demikianlah agama atau agami yang berarti jalan menuju Tuhan menurut keyakinan Islam Kejawen. Secara historis kultural, pemahaman tentang jalan menuju Tuhan ini bisa dimaklumi karena orang Jawa mempelajari Islam dari literatur dan praktek-praktek kehidupan sufistik terlebih dahulu, baru menyusul kemudian mempelajari syariat dengan fikihnya.
PENGEMBARAAN BATIN ORANG JAWA DI LORONG KEHIDUPAN : hal 80.


No comments:

Post a Comment