~ It's simple. Just say what you want (Don't say what you don't want)... ~

Thursday, October 21, 2010

Antara AKU dan DIA











Bukanlah aku dan bukanlah DIA, siapa aku dan siapa DIA?,

DIA bukanlah aku dan aku bukanlah DIA,

Aku bukanlah aku dan DIA bukanlah DIA,

Seandainya DIA adalah apa yang kita lihat dengan mata kita,

tentu tidak ada di dalam kehidupan ini selain kami,

yaitu aku dan DIA , dan DIA dan DIA'

Siapakah bagi kita,

dengan kita dan untuk Kita,

seperti siapakah bagi DIA, dengan DIA dan untuk DIA,

Aku adalah orang yang aku cintai,

dan orang yang mencintai adalah aku,

tidak ada dalam bingkai kaca bayangan selain kita.

Para penyanyi telah lupa kala ia menyanyi, kami adalah dua Ruh dalam satu jasad.

Dengan terang-terangan DIA telah menetapkan sekutu bagiNYA,

semua orang berusaha memisahkan kita,

Aku tidak pernah berdo'a dan ingat padaNYA,

sesungguhnya ingat dan do'aku hanyalah "Wahai Diriku".

~Al Hallaj~


Di dalam kemuliaan tiada aku, atau Engkau atau kita,
Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.

(Sufi Agung Al-Hallaj)







































by Harry Up on Wednesday, October 20, 2010 at 11:46pm
»»  READMORE...
READ MORE - Antara AKU dan DIA

SEKILAS MA’RIFAT: KETIKA JAWA DAN PERSIA DEMIKIAN HARMONI



Saya mengakui dengan jujur, bahwa saat ini, saya sedang meniti jalan setapak – sebuah titian ruhani, menuju puncak yang masih misteri. Jelas, saya masih belum berada di puncak itu, mungkin masih di lerengnya, kadang terperosok ke dalam lembah, lalu di kala lain, bersusah payah naik ke atas, mendaki mendekati puncak itu. Ada hasrat menggelegak untuk tahu, sebetulnya puncak itu seperti apa, dan ada apa di sana.

Hari ini, saya buka hati ini, untuk mendapatkan seberkas cahaya, dan setumpuk informasi, dari orang-orang bijak yang telah mencapai puncak itu. Lalu, saya biarkan jemari ini mengalirkan apa yang semula memasuki hati. Semoga itu merupakan salah satu bukti, terkabulnya doa saya, agar saya menjadi penebar terang, penyampai kesejatian.

KGPAA Mangkunegoro IV, menyampaikan pengalaman pribadinya, bahwa ketika telah sampai puncak, seseorang menjadi sadar sepenuhnya akan hakikat dan rahasia kehidupan. Beliau mendendangkan dalam Serat Wedhatama: “ Dene awas tegesipun, weruh waranane urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar alam sakalir.” Mereka yang telah waspada , telah dengan jelas mengetahui rahasia kehidupan, tirai kegaiban telah terbuka. Ia menyaksikan Sang Maha Hidup di balik segenap gerak kehidupan, Wujud Yang Mahatunggal meliputi segalanya. Dia yang menggerakkan segalanya dan mewujudkan segenap kehendak, maka terhamparlah segala peristiwa alam semesta.”

Yang ghaib, bagi mereka yang telah menggapai puncak, disadari sebagai sesuatu yang nyata. Semuanya menjadi demikian jelas: apa yang misteri itu telah membuka wujudnya. Namun, ternyata, saat yang sama, mereka yang telah sampai ke puncak disadarkan pada sebuah kesadaran, bahwa: “SEJATINE ORA ONO OPO-OPO, SING ONO KUWI DUDU” Sesungguhnya tidak ada apa2, yang ada itu bukan. Apa yang kita anggap ADA, tidak ada seperti lazimnya adanya yang lain, termasuk adanya kata ada itu. Apa yang kita sangka sebagai Dia, bukanlah Dia itu sendiri. Semua persangkaan kita, bukanlah Realitas itu sendiri. Dan tetaplah Dia sebagai Dzat “ingkang tan kena kinira, tan kena kinaya ngapa”.

Mereka yang telah sampai dipuncak, akhirnya menyadari bahwa misteri itu, menjadi nyata sekaligus tetap menjadi misteri.

Maka, sebagai ungkapan manusawi dari misteri itu, bersyairlah Mansyur Al-Hallaj:

“Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku

Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh

Bila kau memandangku, kau memandang-Nya

Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.

(Diwan 57)

Ruh-Mu menyerap dalam ruhku

Bagai anggur larut pada air bening

Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku

Engkau adalah aku dalam seluruh

(Diwan 47)

Kata-kata Al-Hallaj yang terkesan paradoks, menjelaskan fakta bahwa dia bisa menyaksikan Yang Misteri itu dalam segala hal, termasuk dirinya sendiri, sehingga yang ada hanya Dia: bahkan dirinya, hakikinya adalah Dia juga. Dengan pernyataan seperti ini, sesungguhnya Al-Hallaj menegaskan satu hal: di balik yang kosong, sesungguhnya ada Dia, tetapi adanya Dia tak bisa sama dengan adanya wujud lain, yang terpisah dari yang mengatakan keberadaannya. Bagi al-Hallaj, yang mengatakan ada dan Yang Ada itu sebetulnya satu...tak terpisahkan...dan sebetulnya dengan demikian, tak bisa dilihat sebagai sesuatu yang ada secara obyektif.

Walhasil......tetaplah yang misteri itu menjadi Misteri...

Syeikh Siti Jenar...menggapai kesadaran yang sama dengan Al-Hallaj, dan menyatakan dengan tegas:

IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU INI TUHAN).

Nyatalah AKU yang Sejati, Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah maksud 'jargon' spiritual waktu itu). Tidak ada lagi yang lain, Apa yang disebut Allah itu. Maulana Maghribi berkata, Yang anda tunjuk itu adalah jasad,Syeh Lemah Bang menjawab.

Hamba membuka rahasia Ilmu Sejati, Membahas tentang Kesatuan Wujud,Tidak membahas Jasad (yang fana), Jasad sudah terlampaui, Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya Ilmu, Membuka Segala Rahasia.

Dan lagi sesungguhnya semua Ilmu, Tidak ada yang berbeda, Sungguh tiada beda, Sedikitpun tidak, Menurut pendapat hamba, Meyakini bahwasanya Ilmu itu, Semuanya sama.

Dia ada yang karena ada yang mengatakan keberadaannya. Bagi yang mengatakan itu, di luar sana sebetulnya yang dilihat adalah Kekosongan Abadi.....Pernyataan ada itu sesungguhnya merujuk pada keberadan diri, pada keberadaan kesadaran...rahsa sejati....yang secara kekal akan tetap menjadi misteri.

Jiwa Yang Tak Lagi Tersekat

Jalaluddin Rumi, salah satu pejalan ruhani yang telah menggapai puncak, berdendang indah, “Manusia Ilahi, berada di luar kekafiran dan agama...Aku telah melihat ke dalam sanubariku sendiri; di sanalah aku melihat-Nya; Dia tidak ada di tempat yang lainnya..Aku bukan orang Kristen, atau Yahudi, atau Penyembah Api, atau Muslim; aku bukan berasal dari Timur maupun Barat, bukan dari bumi maupun laut...Aku telah mengesampingkan kemenduaan, aku telah mengetahui bahwa kedua dunia itu satu adanya. Satu saja yang kucari, Satu saja yang kukenal, Satu saja yang kulihat, Satu saja yang kuseru.”

Rumi menyaksikan bahwa semuanya berasal dari yang Satu, bayangan dari yang Satu itu, yang hakikatnya adalah kekosongan, sehingga segenap nama dan atribut itu tak lagi memadai. Setiap nama dan atribut, sesungguhnya bukanlah yang Satu itu..melainkan sekedar gumpalan imajinasi di dalam benak, yang tak mewakili Realitas sesungguhnya... yang Satu itu. Dan makna dari yang Satu ini sesungguhnya adalah Yang Maha Meliputi...yang tak menyisakan setitikpun ruang kosong....yang tak memungkinkan adanya yang lain.

Karena kesadaran itu pula, maka Rumi sekaligus terhubung dengan semua lokus di mana bayangan yang Satu itu terlihat: ia terhubung dengan semua jiwa. Rumi berkesadaran, bahwa dirinya, sebagaimana diri kita, sama dengan semua manusia, yang sering menyebut dan mengatributi dirinya dengan nama Muslim, Nasrani, Majusi, dan lainnya. Rumi dan juga kita sama dengan mereka pada tataran hakikat, tapi Rumi menolak disekat oleh nama dan atribut yang membuat ia bisa menyatu dengan sebagian dan berpisah dengan lainnya.

Kesadaran tanpa sekat ini, juga yang membalut jiwa Husain Mansyur al Hallaj. Ia dengan jernih mengatakan: “Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci orang lain dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya sendiri. Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah sebutan-sebutan dan nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak berbeda dan tidak berubah”.

Lebih jauh, Al-Hallaj juga mendendang sebagai berikut:

“Sungguh, aku telah merenung panjang agama-agama

Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang

Jangan kau paksa orang memeluk satu saja

Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam

Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri

Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna

Lalu dia akan mengerti"

(Diwan, 50)

Dan jangan dilupakan, seorang Mistikus lain, yang disebut Syaikh Al-Akbar: Muhyiddin Ibnu Arabi. Ialah sang mistikus yang terkenal dengan syairnya:

"Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;

ia merupakan padang rumput bagi menjangan,

biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka`bah tempat orang bertawaf,

batu tulis untuk Taurat, dan mushaf bagi al-Qur'an.

Agamaku adalah agama cinta,

yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;

itulah agama dan keimananku."

Bagi mereka yang telah sampai di puncak....semuanya itu Manunggal...kita adalah sesama pancaran dari Yang Mahatunggal itu. Apa yang kita sebut sebagai kebenaran, adalah pancaran dari Kebenaran yang Tunggal. Agama-agama, adalah bentuk2 yang berbeda dan esensi yang sama.

Selaras dengan itu, leluhur Nusantara, menyadari dengan jelas bahwa agama itu tak lebih dari sekadar jalan menuju Yang Mutlak, atau bahkan “pakaian” yang menjadi penting bukan pada aspek dan warnanya, tetapi pada aspek fungsinya. Salah satu leluhur itu adalah Empu Tantular, pengarang Kakawin Sutasoma, yang melahirkan falsafah Bhinneka Tunggal Ika:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kêna parwanosên, Mangka ng Jinattwa kalawan Śiwatattwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Buddha & Syiwa merupakan dua hal yang berbeda. Memang berbeda &nkeduanya tak bisa dikenali, Akan tetapi kebenaran Jina (Buddha) dan Syiwa ... adalah tunggal, Sesungguhnya berbeda tetap satu juga tidak ada kebenaran yg mendua.

Cara Menggapai Kesadaran Puncak

Sampai pada kesadaran sebagaimana terpapar di atas, susah-susag gampang. Menjadi susah, jika kita terbiasa dengan cara beragama yang doktriner, mengabaikan kecemerlangan akal budi dan keakuratan rahsa sejati. Maka, banyak orang yang dianggap ahli agama, tidak pernah bisa menyadari bahwa apa yang dinyatakan Rumi, Al-Hallaj, Ibnu Arabi dan para leluhur Jawa, sesungguhnya adalah kebenaran.

Bahkan, sungguh menggelikan, ada cendekiawan, yang mengaku sudah membaca Futuhat Al Makiyyah dan berbagai karya Ibnu Arabi lainnya, tidak percaya bahwa Ibnu Arabi punya jiwa yang lapang dan meyakini bahwa jalan menuju Tuhan itu tak terbatas bentuknya.

Betapa tidak menggelikan, ketika ada seorang yang mengaku ahli agama dan memahami pandangan Ibnu Arabi, mengartikan agama cinta itu sebagai agama Islam (ajaran Muhammad)....yang punya makna agama-agama yang lain bukan agama cinta.

Padahal, seorang petani lugu, atau bahkan remaja yang polos, dengan nuraninya yang terjaga, akan dengan mudah menyadari kebenaran yang disampaikan Ibnu Arabi. Tak usah dia membaca Futuhat Al-Makiyyah, cukup dengan menengok pada rahsa sejati...akan bisa didapatkan kesadaran bahwa kita sebetulnya adalah bentuk-bentuk yang berbeda tetapi diikat oleh sesuatu yang sama: Sang Hidup yang mengalir melalui nafas kita. Dan Sang Hidup itu membuat kita ada, hidup, dengan Cinta...maka agama cinta yang sesungguhnya adalah menghayati dan menebar cinta kepada semua makhluk yang dihidupi oleh Sang Hidup itu sendiri.

Terakhir, yang menarik untuk disimak, adalah bahwa ternyata, para mistikus Islam yang disebutkan di atas: Rumi, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi, punya akar yang sama, yaitu Tradisi Persia. Sintesis antara Persia dan Islam, membuat Islam ala mereka sungguh mempesona. Kita bisa melihat, Islam yang demikian, selaras, harmoni dengan ajaran leluhur di Tanah Jawa. Maka, apapun agama Anda, mengapa Anda tak hidupkan tradisi leluhur Anda sendiri? Karena itu yang akan membuat pribadi dan pandangan Anda mempesona...laksana gemintang di langit yang cahayanya menembus segenap sekat gelap....




by Satria Pengging on Thursday, October 21, 2010 at 12:29pm

»»  READMORE...
READ MORE - SEKILAS MA’RIFAT: KETIKA JAWA DAN PERSIA DEMIKIAN HARMONI

Friday, October 15, 2010

KETIKA BERBAGAI RASA BERGEJOLAK DI DALAM DADA





Ketika suara-suara kasar menghardik masuk ke telinga.....terasa rasa sakit di dalam hati...di dalam dada...sadarilah di dalam keheningan hati....kendalikanlah diri....kuasailah diri.....tahanlah jangan sampai keluar reaksi negatif yang mulai bergolak di dalam hati...di dalam dada.....perlahan-lahan endapkanlah rasa tersebut di dalam keheningan hati........hening...hening...eling semua itu terjadi atas perkenan TUHAN untuk menyucikan jiwa raga kita.........

ketika suara-suara cemooh, hinaan, hujat, caci maki, fitnah, sindiran tajam, gosip negatif masuk telinga....terasa rasa sakit, kecewa, tersinggung, malu, marah, dendam di dalam hati...di dalam dada....mulai terasa getar panas naik ke atas...kemarahan, kekecewaan, sakit hati, malu, dendam mulai mendidih, menggelegak.........sadarilah di dalam keheningan hati.....kendalikanlah diri.....kuasailah diri.......tahanlah diri jangan sampai keluar reaksi negatif yang mulai bergolak di dalam hati....di dalam dada.....perlahan-lahan endapkanlah rasa tersebut di dalam keheningan hati.........hening...hening...eling bahwa semua itu terjadi atas perkenan TUHAN untuk menyucikan jiwa raga kita............

ketika kata-kata pujian, sanjungan masuk telinga.......terasa rasa senang, gembira, terharu, bangga, puas, sombong, merasa lebih dari orang lain mulai bergetar menggelembung di dalam hati...di dalam dada.....sadarilah di dalam keheningan hati....kendalikanlah diri....kuasailah diri.....tahanlah diri jangan sampai rasa itu membesar, menggelembung sangat besar dan menguasai seluruh kepribadian........perlahan-lahan endapkanlah semua rasa tersebut di dalam keheningan hati...hening...hening...eling bahwa semua itu terjadi atas perkenan TUHAN untuk menguji seberapa besar Iman kita, seberapa besar kerendahhatian kita, seberapa tajam kepekaan hati kita akan semua gerak hawa nafsu kita............

ketika rasa iri, dengki, rakus. tamak mulai bergetar di dalam hati...di dalam dada.....terasa semakin membesar dan membesar di dalam hati...di dalam dada....sadarilah di dalam keheningan hati.......di dalam keheningan dada......perlahan-lahan endapkanlah semua rasa tersebut di dalam keheningan hati....di dalam keheningan dada......hening...hening....eling bahwa semua rasa itu adalah ujian TUHAN untuk menguji seberapa tajamkah rasa kita akan semua gerak hawa nafsu yang bergolak di dalam hati kita.......

ketika rasa gairah seksual, syahwat, libido seksualis mulai terasa bergetar di dalam hati...di dalam dada....mulai bergetar menyebar ke seluruh tubuh.......sadarilah di dalam keheningan hati...di dalam keheningan dada....kuasailah diri....tahanlah diri jangan sampai rasa itu menguasai seluruh kepribadian kita........perlahan-lahan endapkanlah di dalam keheningan hati...di dalam keheningan dada.......hening...hening....eling bahwa rasa itu hanya diperkenankan TUHAN kita salurkan dengan penuh kasih hanya kepada istri atau suami kita saja..........

JAGALAH SELALU KEHENINGAN HATI...KEHENINGAN JIWA...KEHENINGAN SANUBARI....KEHENINGAN KALBU......KEHENINGAN DADA.......DENGAN SELALU SETIAP DETIK SETIAP SAAT SETIAP WAKTU BERSERAH DIRI TOTAL SUMARAH HANYA KEPADA TUHAN SAJA....


»»  READMORE...
READ MORE - KETIKA BERBAGAI RASA BERGEJOLAK DI DALAM DADA

TUHAN DI MATA ORANG JAWA




Secara filosofis, faham Jawa mengakui adanya kepercayaan kepada Gusti Allah atau Sang Hyang Tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, atau juga Sang Hyang Wenang, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan Yang Satu lagi Maha Kuasa bagi dan atas seluruh alam semesta.

Karena Tuhan itu hanya satu, maka Tuhan dari para pemeluk berbagai agama, pada hakikatnya adalah Tuhan yang sama. Persoalannya kemudian pada bagaimana jalan serta cara menuju Tuhan yang sama tadi.

Meskipun demikian, semua itu tetap terserah masing-masing, “bagimu agamu, bagiku agamaku”. Faham Jawa menghormati pemeluk kepercayaan dan agama lain seraya teguh memegang kepercayaan dan agamanya sendiri. Masing-masing orang mengukir nasibnya sendiri-sendiri. Manusia itu bagaikan wayang, yang dimainkan oleh dan terserah Sang Dalang, yaitu Sang Maha Sutradara, Tuhan Yang Maha kuasa. Sebagaimana halnya wayang, setiap peran sudah memiliki skenarionya masing-masing. Orang lain hanya sekedar, sakdermo, memberitahu serta mengingatkan mana yang baik dan mana yang buruk.

Oleh karena itu juga tidak mengherankan jika dalam satu keluarga Jawa, termasuk keluarga ibu dan bapak saya, dijumpai beberapa pemeluk agama yang berbeda.

"Tuhan itu hanya satu, maka Tuhan dari para pemeluk berbagai agama, pada hakikatnya adalah Tuhan yang sama. Persoalannya kemudian pada bagaimana jalan serta cara menuju Tuhan yang sama."


(Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan : halaman 14).

»»  READMORE...
READ MORE - TUHAN DI MATA ORANG JAWA